250.
Sekadar maaf mungkin takkan pernah cukup.
(“Lo sadar salah lo dimana?”)
Kim Mingyu sadar salahnya dimana.
“Boleh...gue pegang?” kedua tangan membuka, telapak menantang langit; sebuah gestur meminta rengkuhan sepasang tangan yang lain.
Salahnya adalah...
Minghao tersenyum makin lebar. Senang, karena Mingyu mengerti apa yang dia inginkan. Meski memiliki pengalaman traumatis dan karenanya menjadi jauh lebih hati-hati ketika ada yang mendekatinya, dia bukan orang yang kemudian menutup erat hatinya.
Dia percaya, masih percaya, suatu hari, orang yang memang menyayanginya dengan tulus akan datang.
Untuk itulah, Minghao bangkit dari keterpurukan. Susah payah, namun toh dia banyak dibantu orang-orang di sekelilingnya. Jihoon, Minki, Jeonghan, Seokmin, Soonyoung, Chan. Mereka melindunginya mati-matian. Tidak menyerah, meski Minghao sendiri ingin menyerah.
Ketika ia melihat bagaimana video pemerkosaannya menyebar ke seluruh kantor, dunianya mendadak gelap. Ia tidak begitu ingat apa yang terjadi kemudian. Otaknya kopong. Ia hanya ingat Jeonghan marah besar, bersama Jihoon menyeret lelaki itu. Hanya ingat Chan memeluk lehernya kuat-kuat sambil menahan tangis. Hanya ingat Seokmin berlutut di depannya yang terduduk lesu, Soonyoung di sampingnya, memberikan kata-kata penyemangat.
Minghao tidak menangis kala itu, karena sudah ada mereka yang menangis untuknya.
Waktu bagai konsep yang tidak ia pahami. Pagikah? Siang? Malam? Kompensasi kantor (atas tekanan Jihoon dan Jeonghan, tentu) memberikannya segala waktu yang dia perlukan untuk pulih. Berganti hari menjadi minggu, Minghao berjalan di bumi bak mayat hidup. Tanpa arah tujuan, berputar mengelilingi area tempatnya tinggal.
Tidak tahu. Tidak tahu.
Untuk apa.
Untuk siapa.
Kenapa?
Kenapa harus dia...?
Apa salahnya...............?
Maka, langkah memelan. Di tengah marka penyebrangan, ia berhenti.
Dan menangis.
Menangis.
Dia menangis sejadinya. Merintih. Berjongkok, memeluk tubuhnya sendiri. Dia menangis sampai terkuras habis air mata yang selama ini ditahannya. Sendirian. Di bawah langit berbintang. Di antara orang-orang. Lalu-lalang. Yang kemudian, satu-dua, mulai menyadari ada keganjilan. Yang kemudian menanyakan keadaannya untuk memastikan.
Entah bagaimana, ia bisa pulang dengan selamat malam itu. Entah bagaimana, teman-teman kantornya pun menjenguk.
Lalu, entah bagaimana, mereka memeluk Minghao, membiarkan ia tertidur lelap, akhirnya, dengan mata sembab dan hidung memerah.
Xu Minghao menoleh, melihat ke sekeliling, ke wajah-wajah familier yang tetap bersamanya meski dia berada pada titik terendahnya.
Dan dia pun sadar,
dia mau menjadi kuat demi orang-orang itu.
Sepasang tangan lain meremas perlahan tangan Mingyu di atas meja. Hangat kulit saling bertemu. Meski tatapnya masih sedih terhadap Minghao, senyum Mingyu padanya malu-malu.
Salahnya Kim Mingyu adalah....
“Boleh,” jawab Minghao.
....consent.