25.
Maka, dimulailah keseharian baru Kim Mingyu. Karena dia sudah “dilarang” datang ke kantor, semakin semangatlah bapak satu anak ini mengurusi rumahnya. Ia jadi tahu bahwa ada beberapa tagihan yang belum sempat dibayar. Jadi mengenal pemilik toko beras dan gas langganan mereka. Ada renovasi kecil-kecilan yang diperlukan di rumah.
Serta kondisi anak gadisnya.
Sekarang, setiap pagi buta, Kim Mingyu bangun untuk menyiapkan sarapan dan bekal anaknya. Dia juga mulai belajar mempercantik charaben buatannya. Hari ini dia membuat sekotak omurice bentuk beruang kecil yang merupakan maskot terkenal. Dia bentuk seolah beruangnya sedang tidur berselimutkan telur.
Mingyu tersenyum. Ri belum mau makan bekalnya, tapi itu tidak masalah. Ia hanya perlu mencoba terus sampai, suatu hari, anaknya pasti memakannya.
Hal lain yang ia sadari sebagai perubahan adalah pertukaran diari dengan guru anaknya. Jeon Wonwoo. Meski masih muda dan agak meragukan, tapi tulisannya rapi dan to the point. Ia tidak ragu menggaris bawahi apa yang ia pantau dari lapangan. Dari catatannya, Mingyu jadi tahu kalau Ri bukannya tidak suka masakannya, tapi menolak makan karena hal lain.
“Titip Ri ya,” suatu pagi, Mingyu berkata padanya setelah menyerahkan Ri padanya.
Jeon Wonwoo tersenyum.
“Hari ini bekal Ri yang dibuat Papa apa ya?” alih-alih menjawab, Wonwoo malah bertanya pada anak itu.
Gyuri hanya diam.
“Apapun itu, pasti enak ya. Bapak masih inget rasa ayam goreng buatan Papanya Ri. Enak banget.”
Mingyu terkejut.
“Nanti kita makan siang sama-sama lagi ya, Ri?”
Masih diam, anak itu mengangguk, membiarkan gurunya menggandeng tangannya masuk ke TK.
Mingyu hanya bisa bengong. Jadi Jeon Wonwoo suka masakannya....?
. . .
“Ini.”
“Apa ini?”
“Buat kamu,” Mingyu meringis. Wonwoo memicingkan mata, kurang suka bagaimana dalam rentang dua minggu sejak pertemuan mereka, lelaki itu menanggalkan ucapan formalnya.
(Mentang-mentang Wonwoo lebih muda 12 tahun darinya)
Diterimanya sesuatu dibebat kain. Hangat terasa, juga harum masakan. Mata Wonwoo membulat ketika ia dengan cepat memandang ke arah Kim Mingyu, hanya untuk menemukan lelaki itu tersenyum lembut.
“Dimakan bareng Ri ya?”
. . .
“Ji.”
“Ha?”
“Menurut lo, orang kalo bikinin makanan buat orang laen tuh kenapa ya?”
Jihoon mengangkat kepala dari buku besarnya.
“Bukannya itu tanda perhatian ya?”
Bukan. Pasti bukan itu.
“Ato rasa kasihan?”
Jihoon mempertimbangkan sejenak. “Bisa jadi,” ia kembali menekuni penghitungan kas keluar-masuknya.
Wonwoo mendengus geli.
Pity, huh? Fuck you, rich old man.