216.
“Udah nih?”
“Udah. Maybe.”
“Ya udah,” Seokmin mengantar Minghao ke lobi utama, dimana lelaki itu memesan ojek online untuk pulang. Andai mereka satu jalur, mungkin Seokmin sudah mengajaknya share satu mobil saja, lebih murah dan nyaman. Sayangnya tidak begitu. Ia berdiri di samping Minghao, berdua bersandar ke dinding.
“Udah dapet?”
“Belom.”
Mall di tanggal merah memang ramai sekali. Orang lalu-lalang, datang dan pergi. Berkantong-kantong barang belanjaan ditenteng. Aneka makanan dan minuman dibawa para pengunjung. Hari sudah gelap. Sebentar lagi tanggal 25 akan berganti.
Sebentar lagi, kencan satu harinya juga akan berakhir.
“Hao.”
“Hmm?”
. . . .
”...........Apa...tadi?”
“A kiss?”
“Who gave you permission to do that?”
“No one?” Seokmin tersenyum. Minghao terkadang membenci senyuman lelaki itu, seolah polos tanpa dosa. Hah. Andai orang-orang tahu apa yang sering keluar dari jari laknatnya di grup chat mereka. “Just felt like it.”
“Felt like it.“
“Lo nggak suka...?”
Mau marah. Seharusnya marah. Tapi, Minghao menemukan dirinya hanya menghela napas.
“Don't do it again.”
“Oke.”
“Especially not on my lips again.”
“Oke,” geliginya dipamerkan. Sangat ceria.
Minghao tidak bisa tidak ikut tersenyum. Yah sudahlah. Toh ini bukan ciuman pertamanya. Lagipula cuma kecupan lugu. Anggap saja mencium anak kecil yang penasaran.
“Udah lengkap kerasa ngedatenya?” tanyanya santai.
Seokmin meringis makin lebar, menjawab yakin, “Udah! Thank you, Hao!”