21.

#gyuhaoparentssequel

Tling!

“Selamat datang!”

Ramai. Di jam makan siang, restoran itu padat hingga meja paling sudut. Seokmin tersenyum pada pelayan yang menyambutnya di pintu, sekaligus melintas sambil membawa nampan penuh berisikan makanan. “Sebentar ya, Pak!” sahutnya.

Ia mengangguk, berdiri di sana saja.

Diperhatikannya pelayan tersebut tersenyum, menaruh makanan di beberapa meja sekali jalan. Seokmin menoleh ke kiri. Bola matanya membulat ketika menemukan wajah yang ia cari, tengah menyajikan minuman pada tamu di konter. Ingin ia menyapa, namun tak yakin anak itu melihatnya.

“Silakan. Maaf ya, Pak, terima kasih sudah menunggu,” pelayan yang tadi pun menghamipirinya. “Berapa orang, Pak?”

“Satu aja sih,” senyum si lelaki. “Mm, mau tanya, manajermu—”

“PAK SEOK!”

Senyumannya lantas melebar, seperti halnya senyuman anak itu. Rangkulan datang, yang langsung dibalasnya sama erat. Dibandingkan supir dan majikan, hubungan Seokmin dengan keluarga Mingyu berakar terlalu dalam. Ia sudah lama sekali mengabdi pada keluarga Kim sampai bisa ia bilang Mingyu terasa seperti adiknya, Minghao adik iparnya dan anak-anak mereka bagai anaknya sendiri. Dan ia sangat senang dengan fakta itu, mengingat ia hidup dalam kesendirian hingga usia segini.

“Kirain Bapak datengnya kapan gitu, cepet banget??”

“Iya nih, Bapak hari ini kosong juga nggak ada jadwal, jadi Bapak sempetin.”

“Ya udah. Pak Seok duduk di sini aja, Pak,” kebetulan ada satu kursi kosong di konter. “Bentar, aku beresin dulu mejanya.”

“Permisi! Mau pesan!”

“Ya! Bentar ya, Pak Seok,” dengan sigap, anak itu membawa peralatan makan bekas, meminta agar tamunya menunggu sebentar sementara ia menuju dapur.

Seokmin menghela napas. Jaket jinsnya ia buka dan bentangkan di sandaran kursi. Dilihatnya ada menu kecil ditaruh di pinggiran konter, maka ia mengambil dan membolak-balik halamannya. Empat halaman penuh dengan menu pembuka, hidangan utama, hidangan sampingan, hingga penutup dan seleksi minuman. Mau tak mau, ia terpukau. Betapa detailnya Kim Mingyu merancang ini semua. Setiap menu diberi foto yang jelas dan jabaran bahan serta apa yang dilakukan terhadap bahan-bahan itu.

(...daging sapi 350 gram dipanggang dengan saus...)

(Yah tidak heran, keluarga Kim jelas tidak asing dengan kehidupan kelas atas, meski mereka bisa dibilang hidup cukup sederhana sehari-harinya)

Konsentrasinya buyar ketika ia menangkap beberapa keluh kesah dari tamu yang lain. Satu wanita mulai mencuri-curi pandang ke dapur. Di meja lain, seorang lelaki paruh baya melihat jam di lengannya. Meja lain bercanda betapa lama servis di sini.

(“Mana sih makanannya...”) (“Belum juga??”) (“Ini mah keburu kelar jam makan kita..”)

“Pak Seok,” anak itu mendadak sudah di sebelahnya. Entah kapan kembalinya. “Bapak pesen apa?”

“Oh, aku—”

“Permisii!” wanita itu menyela. “Mana ya makanan saya kok belum juga? Udah mau setengah jam nih nunggu!”

“Oh, iya, Bu, sebentar, saya cek dulu—”

“Makanan saya juga belum nih! Saya udah laper!”

“Oh, iya, Pak—”

“Meja sini juga yaaaa, kita mau balik ngantor nih, bisa buruan nggaakkk??”

“Iya, segera—”

Seokmin menonton semua dalam diam. Melihat kepanikan yang jelas tercetak di paras anak itu, ia menghela napas. Lalu, ia berdiri.

“Kakak,” diusreknya kepala anak itu dengan lembut. “Bapak pinjem dapurnya ya.”

“Pak Seok....?” kaget, ia segera berderap menyusul lelaki itu. “Pak, sori, nggak usah—”

Begitu ia masuk ke dapur, ia menemukan Joshua berkacak pinggang, nampak kesal karena ada orang asing di dapurnya. “Siapa kamu? Jangan ada di dapur. Keluar!” tegasnya.

Seokmin hanya tersenyum makin lebar. “Saya bantu ya? Kelihatannya kalian kurang orang,” jelasnya sambil melipat lengan kemeja santai warna biru muda yang ia kenakan. “Saya kenalan manajer kalian dan supir dari Pak Kim, yang punya restoran ini.”

Mata Joshua melebar.

“Saya bisa sedikit-sedikit masak. Tapi saya perlu diajari sedikit karena jarang juga bikin masakan Perancis.”

“Pak Seok, nggak usah—”

“Hoi! Makanan meja 3, 7, sama 12 udah belom, Josh—” Vernon menyeruak pintu dapur hanya untuk berhenti oleh kejadian tak biasa itu. “—Oh. Ada apa nih?”

Joshua, mengalah, akhirnya menghela napas. Ia berbalik menekuni finishing untuk pesanan ketiga meja tersebut.

“Cuci tangan, terus pake celemek di samping bak. Kita kehabisan bawang bombay jadi tolong potongin. Cincang halus. Bawangnya ada di dus belakang di storage,” Joshua menyeka sisi piring dengan lap, memastikan bersih dari segala saus juga taburan. “Vernon, bawa ini ke meja 3 sama 12. Manajer, ini buat meja 7. Dia langganan di sini. Senyum yang lebar dan minta maaf. Wine gratis sedikit nggak akan bikin kita rugi.”

Tidak sampai lima detik, semua sudah berpencar melakukan tugasnya masing-masing.

. . .

“Bawangnya,” Seokmin menaruh sebaskom besar isi bawang cincang halus di meja persiapan.

“Trims.”

“Ada lagi yang bisa saya bantu?”

Tidak ada jawaban. Joshua menggoyangkan sauce pan nya.

“Hong Jisoo. Joshua. You can call me Josh. Or Shua. Whatever.”

Seokmin tersenyum.

“Lee Seokmin. You also can call me anything you want,” ada jeda sebelum ia melanjutkan. “Shua.”

Keduanya tersenyum.

“So, Seokmin, can you make some seafood stew? Bouillabaisse is not that hard to make.”

“Well,” senyum lelaki itu timpang. “Actually, seafood stew may be my speciality.”