15.

#gyuhaoparentssequel

“Udah meweknya?”

“Bacot.”

Sniff.

Ia tak kuasa untuk tidak tersenyum. Merajuk, tepatnya, gadis itu. Chan kaget ketika ia mengetuk pintu dan, sedetik jeda, pintu langsung menjeblak terbuka seolah sudah dinanti-nanti. Lengan diseret, dibawa ke sofa, lalu gadis itu merungkel di pelukannya.

Sambil menangis. Sambil menceritakan panjang lebar mengenai kakaknya, ayahnya dan juga bagaimana ibunya menelepon untuk menasehatinya agar tidak menjadikan ayahnya pelampiasan sebagai kebiasaan. Gadis itu membela diri, menyatakan alasan, tapi ibunya lebih keras kepala. Lebih tegas.

“Itu papa kamu,” sepat, saat ibunya menutup pembicaraan. “Mama minta kamu sopan sedikit sama papa kamu, Nak. Papa paling sayang sama kamu. Jangan buat papa sedih melulu.”

Dan sambungan pun mati.

Chan menghela napas. Rasanya ia paham kenapa ibu kekasihnya bisa marah besar begitu. Jujur saja, tidak mudah menjadi pacar seseorang yang begitu keras kepala dan berjiwa bebas macam gadis itu. Di balik wajahnya yang imut-imut, matanya yang besar dan bibirnya yang mungil, ada lidah setajam silet dan keberanian bagai penghuni asrama singa di novel fiksi dunia sihir.

Sungguh, sangat tidak mudah.

Apalagi dengan statusnya sebagai model majalah yang karirnya sedang menanjak dan kekayaan tiada tara dari kedua orangtuanya, di sekolah, cukup banyak yang merasa gadis itu sombong.

(Mereka hanya tidak tahu kalau gadis itu tidak suka mengurusi hal-hal bodoh yang membuang waktunya dan mereka juga tidak terlalu peduli untuk mencari tahu.)

Menjadi pacarnya selama 3 tahun saja sudah bikin ia sering migrain, apalagi menjadi orangtuanya. Biasanya Om Minghao selalu sabar menghadapi anak-anaknya. Kalau dia sudah marah sebegitunya, berarti gadis itu sudah kelewat batas kurang ajar pada ayahnya.

Hela napas lagi. Sisi dagunya di atas kepala gadis itu, yang bersandar pada bahu Chan.

“Lo sih...kenapa juga keburu emosi sampe wa bokap lo? Udah sih, biarin bonyok lo pacaran berdua seneng-seneng. Mereka udah kerja terus kan bertahun-tahun, sekarang saatnya mesra-mesraan,” dielusinya rambut panjang nan halus gadis itu. Wangi bunga yang merupakan wangi shampoonya yang familier pun harum tercium. “Kan elo yang dulu protes mereka kerja mulu? Gimana sih, kebanyakan jilet ludah sendiri lo ah.” Ejekannya ringan dalam tawa.

Alis si gadis mengerut. “Lo paham nggak sih! Gue tuh cemas sama kakak gue! Gue nggak ngerti apa sih yang dia mau uber?? Makan, lupa. Ditanya, jawabnya 'ham, hem, ya'. Nggak paham gue! Dia berubah banget, nggak kayak kakak yang gue kenal!”

“Iya tah?” Chan mengernyit. “Kok gue paham ya kenapa kakak lo jadi gitu?”

”...What?”

“Iya,” mereka bertatapan. “Bukannya karena kakak lo sayang banget ya sama bonyok lo, jadi dia nggak mau ngecewain mereka, makanya dia berusaha banget megang tanggung jawab dia ini?”

Si gadis termangu diam.

“Hmm, tapi gue nggak tau juga sih. Mungkin juga emang dia kesel 'dibuang' gitu, terus liek 'fuck this, I can do this shit', jadi sensitif deh. Yah, hati orang nggak ada yang tau,” timpalnya lagi dengan santai.

Si gadis masih diam. Chan menghela napas, lagi, lalu tersenyum. Ditangkupnya pipi gadis itu.

“Udah ya? Ini urusan kakak lo sama ortu lo. Lo nggak usah ikut campur terlalu banyak. Biarin aja kakak lo kelarin sendiri. Toh dia juga banyak pikiran, masa depannya, restoran juga. Ya?” tuturnya lembut.

“Tapi...gue cemas sama kakak gue...”

“Iya, paham,” sebuah rangkulan datang kemudian. Si gadis langsung merangkul balik, bermanja pada kekasihnya. “Just tell him to keep eating, then wish him to be happy for the day. Itu aja harusnya cukup kok buat kakak semangat lagi. Nggak perlu marah-marah buat nunjukin lo peduli sama dia kan?”

Sebuah cibiran sebagai respon.

“Apa sih ini? Hmm?” Chan terkekeh, mencium bibir merah itu. “Nggak usah gemes-gemes.”

“Lo sendiri apa? Cium-cium, padahal pacar juga bukan?” meskipun begitu, nada yang keluar terdengar main-main.

“Ya udah. Ayo kita pacaran lagi, Ms. Kim,” kecupan singkat tak hentinya datang. “Biar gue bisa cium bibir lo ini terus.”

“Idih malesin. Alesan apaan tuh?” tawa berderai.

Bahkan ketika Chan mengangkat kekasihnya ke dalam gendongan, kaki kecil segera melingkari pinggangnya, derai tawa itu tidak putus, malah semakin lepas.

“Si kembar?”

“Udah tidur,” si gadis menciuminya kembali. “Nyokap lo nyariin nggak?”

“Udah bilang bakal nginep.”

Mata gadis itu membelalak. “Boleh?” tanyanya takjub.

“Gue cerita semua ke nyokap. Katanya asal gue tau batas, yaudah.”

“Wow...nyokap lo oke banget...”

Chan smirked. “I know, he's the almighty Lee Jihoon anyway,” selorohnya, sebelum menciumi lagi gadis itu di sela tawa dan membawanya ke kamar di lantai dua.