1.

#gyuhaoparentssequel

Empat tahun.

Waktu yang mereka butuhkan untuk mengambil sebuah keputusan yang cukup menggegerkan dunia properti dan fashion.

Kim Mingyu, arsitek terpandang yang selama ini berhasil mendapatkan proyek-proyek kelas kakap baik dari swasta maupun dari pemerintah, mengumumkan bahwa dirinya mundur dari BOD. Ia tetap memiliki saham terbanyak dari perusahaannya sendiri, hanya saja tanggung jawab operasional ia serahkan pada Jeon Wonwoo, orang kepercayaannya, sebagai CEO yang baru.

Di saat yang bersamaan, suaminya, Xu Minghao, mengikuti jejak yang sama. Ia melepaskan tangan dari manajemen perusahaan interior design dan percetakan majalah fashion miliknya ke tangan orang lain dengan tetap bertahan sebagai pemegang saham terbanyak. Sesungguhnya ia ingin memberikan tampuk kekuasaan pada Kwon Soonyoung, namun kehamilan Soonyoung yang rapuh memaksa sahabatnya itu untuk mengundurkan diri. Alhasil, CEO kini dipegang oleh orang lain yang sama-sama ia percayai.

Menyusul berita mendadak ini adalah kabar bahwa pasangan suami itu menghilang selama dua tahun lamanya, entah ke mana. Hanya anak-anak dan teman terdekat mereka yang tahu bahwa Mingyu dan Minghao berkeliling dunia berdua saja, seolah menikmati bulan madu mereka yang terlambat.

(Tentu, anak-anak pun diajak ketika sedang liburan sekolah)

(Dan, ya, dulu mereka memutuskan untuk tidak berbulan madu karena pasti rasanya sooo awkward...)

Jauh dari jangkauan media, Mingyu dan Minghao memutuskan untuk memperbaharui janji pernikahan mereka disaksikan kedua anaknya, di suatu tempat yang indah di pinggir pantai. Mereka menyewa seluruh tempat itu selama seminggu dan menikmatinya sekeluarga saja. Setelah itu, mereka menghilang.

....Hanya untuk pulang dengan bayi di dalam kandungan Minghao.

Anak lelakinya langsung tersenyum sangat ceria, sedangkan anak perempuannya kaget bukan kepalang.

“KAKAK BAKAL PUNYA ADEK LAGI MA?? YAAYYY~!!” 😆

“MAH! PAH! ADEK AJA UDAH UMUR SEGINI?? BEDANYA KEJAUHAN?? KAYAK TANTE SAMA PONAKAN INI MAH??” 🙄

Terlepas dari itu, keluarga kecil mereka bahagia. Mas Seokmin masih setia mengantar jemput anak-anak mereka (karena kini Mingyu sudah tidak perlu supir pribadi lagi), dan mendekati bulan-bulan terakhir kehamilan Minghao, tugasnya bertambah untuk mengantar Minghao kemanapun lelaki itu inginkan.

Mingyu sendiri mulai sibuk bolak-balik ke Jepang dan, ketika usia kandungan Minghao telah tujuh bulan, Mingyu dengan ceria memberitahunya bahwa ia akan membuka restoran di Jepang. Selama mereka berkeliling dunia, Kim Mingyu banyak mempelajari resep-resep masakan lokal dari penduduk setempat. Ia juga mengimport beberapa produk minuman dan makanan yang berkaitan dengan negara tersebut.

“Jadi menu restorannya itu buat tiga bulan,” diceritakannya tak sabar pada Minghao yang masih tercengang, suatu malam di tempat tidur mereka. “Selama tiga bulan itu, cuma makanan dari negara yang itu aja yang kita sajiin. Tentu aja bisa lebih dari dua negara dalam satu waktu. Nah abis itu kita bisa pilih mau ke negara mana lagi. Nanti tiga bulan berikutnya kita sajiin menu dari negara itu.”

“Wait,” sela Minghao. Matanya memicing curiga. “Kita?”

Mingyu meringis malu-malu. “...Can you imagine, Hao, our little restaurant, offering food that I love to make, filled with photos that you love to take in each country we visited?” tuturnya penuh impian.

Oh...

“That's—”

Actually...

”—nice. Yeah. That's kinda nice,” mau tak mau, ia tersenyum lembut.

Mingyu yang merasa gayung bersambut pun semakin semangat bercerita mengenai rencananya. Ucapannya semakin cepat, hingga pada suatu titik, Minghao lelah mendengarnya dan malah ketiduran. Mingyu, menyadari ia membuat lelah suaminya, pun menghela napas dan membenahi pose mereka hingga ia bisa tidur sambil memeluk suaminya dengan hati-hati.

Impian itu baru bisa mereka laksanakan setelah kedua bayi mereka cukup besar untuk bisa ditinggal pergi. Dan meski usia 1 tahun bukan usia yang cukup untuk dibilang 'besar', Minghao mengetes dengan pergi berdua bersama suaminya ke Hungaria dan Austria, dan meninggalkan bayi mereka di tangan Soonyoung.

“Kenapa nggak di rumah aja sih, Mah? Kasian kan Om Soonie, ngurus tiga bayi gitu?” protes anak gadisnya.

“Emang Adek mau ngurusin si kembar?” tantang ibunya balik.

“Y-ya, kan Mama bisa sewa baby sitter sih? Lagian ada Kakak ini. Kakak juga lagi nganggur kan cuti sekolah.”

“Nggak bisa,” tegas Minghao. “Kakak kamu mau Papa taro di restoran itu. Belajar kerja di sana daripada nganggur.”

Si kembar yang perempuan melingkarkan lengan ke sekeliling leher ibunya, sementara Soonyoung tertawa melihat tingkah yang lelaki di gendongannya.

“Nggak pa-pa kok, gue kuat lah urus tiga bayi,” seloroh Soonyoung. “Ato gak gini aja. Si kembar tetep di sini, gue yang bolak-balik ke sini.”

Alis Minghao mengernyit. “Gak ngerepotin tuh?” ia tidak mau membuat susah Soonyoung lebih dari ini.

“Nggak lah. Gue kan bisa pinjem Mas Seok buat nganter jemput. Lagian di rumah berdua doang juga sepi, Wonu kerja mulu. Biar gue nggak bosen lah.”

Minghao bergumam. “Kalo lo mau pacaran sama Wonu, kasitau Adek aja ya. Biar Adek yang jaga. Oke?”

Anak perempuannya itu memutar bola mata.

“Adek?” tegas Minghao sekali lagi.

“Iya, Maaahhhh.....,” gerutunya 🙄

Jadi, begitulah, asal mula kenapa anak lelaki sulung mereka sekarang menemukan dirinya tinggal sendirian di lantai dua sebuah restoran kecil di ibukota Tokyo, harus bekerja bersama seorang juru masak dan seorang pramusaji, sementara kedua orangtuanya melang-lang dunia menemukan resep-resep yang bisa dimodifikasi.

Right. Lesson of life: Age 17.

Start.