sleep.

#wonhaodrabbles

Jeon Wonwoo punya masalah dalam berbagi.

Kalau Seokmin datang dan meminta camilannya, ia ogah memberi. Bila ia sedang makan dan datang Mingyu meraup sesuap, tatapannya tajam tanpa henti seakan ia tengah menghujam Mingyu dengannya. Keengganannya akan meningkat beberapa kali lipat untuk sesuatu yang disukainya.

Jeon Wonwoo benci berbagi, namun, sialnya, ia harus membagi Myungho dengan sebelas orang lain (dan entah berapa banyak teman dan kenalan lelaki itu di luar sana, dasar eksis).

Rasanya tidak adil. Myungho tidak harus berbagi Wonwoo dengan banyak orang. Tanpa sadar, ia membatasi diri dengan lingkup kecil namun nyaman. Bukannya ia benci berkenalan, namun membuka dirimu dari awal lagi pada setiap orang baru adalah hal yang melelahkan. Bertemu, berbasa-basi, mengulang hal-hal yang sama—repetitif, membosankan.

Capek.

Bersama orang-orang yang mengenalnya, ia bisa santai tanpa harus memedulikan citra idol, sebuah citra yang, katakanlah, mengikat banyak hal akan 'yang boleh' dan 'tidak boleh'. Ketika kamu hidup penuh dengan larangan, bisa bersantai menjadi diri sendiri adalah sebuah kemewahan yang orang biasa tidak merasakan.

Granted—Wonwoo tidak mau munafik—mereka menukar kebebasan dan kehidupan pribadi dengan ketenaran. Banyak keuntungan datang dari ketenaran itu. Wajah mereka kini diingat. Suara mereka kini didengar.

Namun, bersamaan dengan itu, tutur kata dan perbuatan mereka harus dijaga, agar tidak nila setitik, rusak susu sebelanga.

Karenanya, penting bagi Wonwoo menciptakan suatu kotak imaji dimana ia bisa menjadi dirinya sendiri: yang suka mengerjai teman-temannya, yang rebel, yang receh, yang posesif. Hanya anak biasa, menuju pemuda, menuju lelaki dewasa, dengan segala kecanggungannya. Kotak yang terdiri dari seluruh keluarganya dan dua belas orang yang memiliki kunci akses langsung menuju pintu Jeon Wonwoo yang sejati.

Dari dua belas itu, satu orang—hanya satu—yang diberikannya kunci istimewa.

Satu.

Kepala hitam menemplok di bahunya dan Seo Myungho menoleh. Hanya sekilas senyum maklum sempat mampir di wajahnya sebelum ia kembali ke percakapan mereka yang penuh ceria. Notifikasi 1 juta likes muncul di V-Live mereka. Soonyoung mengoceh, Seungkwan menimpali, Seokmin menyusup masuk ke pertikaian mereka, dan Wonwoo sungguh ingin tidur.

Ada kalanya ia begitu letih menjadi Wonwoo Si Idol bahkan di depan kamera. Ketika masa itu tiba, ia akan mencari orang-orang yang ia senangi dan bermanja ke mereka. Tidak banyak, memang, bisa dihitung dalam satu tangan. Salah satunya adalah siapa yang bahunya ia sandari saat ini.

Myungho menenangkannya.

Seperti menarik napas di tengah hutan pohon pinus di atas gunung sambil menatap matahari terbit. Seperti memejamkan mata ketika rintik hujan berderai lembut di luar kamarmu. Seperti memeluk selimut yang baru selesai diangkat dari jemuran.

Myungho menenangkannya. Entah bagaimana caranya. Entah, keajaiban apa, jampi-jampi apa, atau memang reaksi kimiawi yang tanpa disadari selalu menariknya ke Myungho. Jika Wonwoo membutuhkan seseorang untuk membuat perasaannya nyaman, dari dua belas lainnya, ia akan memilih Myungho.

Bukan, bukan berarti ketika ia sudah merasa nyaman, ia tidak membutuhkan Myungho lagi. Ia akan selalu menoleh dan mencari Myungho di antara kerumunan orang. Dan, entah bagaimana, Myungho akan selalu menyadarinya, menoleh dan tersenyum padanya. Tangannya akan hangat di pipi Wonwoo, membawakan kebahagiaan tak terhingga pada lelaki yang lebih tua darinya itu.

Precious, precious Myungho.

“Ya kan? Ya kan?? Kalo kalian semua nggak percaya, aku inget kok pas itu ada Wonu-hyung. Coba bilang ke Soonyoung-hyung, Wonu—”

Ssh.”

Samar-samar, di kesadarannya yang timbul tenggelam, di tengah kesunyian mendadak sebelas orang lainnya ketika menyadari bahwa salah satu dari mereka terlelap di depan kamera, Wonwoo mendengar Myungho berkata.

“Dia lagi tidur.”

Ah, Myungho tersayang. Bahkan dalam nadamu, kamu pun tersenyum manis sekali.