Part 48

#gyushuaau

Makan malam yang dibuatkan Nyonya Hong bukanlah menu yang mewah, tapi lezat dan mengenyangkan. Sebagai Alpha, Tuan Kim terbiasa makan dalam jumlah besar, karena tubuh Alpha senantiasa mengeluarkan hangat untuk melindungi keluarganya dari udara dingin. Namun, atas dasar kesopanan, Tuan Kim berhenti di porsi ketiga, mengisi hanya 6/8 perutnya. Tetap saja, ibu dan anak itu terkagum-kagum melihatnya, Tuan Kim sampai salah tingkah.

Setelah makan, mereka duduk di ruang tengah. Perapian menyala dengan tenang. Teh dan camilan disajikan. Mereka pun bercakap-cakap untuk beberapa saat. Tuan Kim menanyakan bagaimana rasa kue keju buatannya dan Tuan Hong bergumam bahwa kue itu enak. Nyonya Hong mengeluhkan kakinya yang cepat letih bila diajak berjalan agak lama. Tuan Kim pun merekomendasikan Dokter Jeon, yang membuka praktek di pusat kota dan merupakan kawan lama Tuan Kim, pada Nyonya Hong. Setelah pembicaraan agak mereda, Nyonya Hong meneguk habis tehnya sebelum ia pamit undur diri, memberikan waktu pribadi bagi kedua insan tersebut.

Seperti dua minggu lalu, ruangan langsung hening selain bunyi cangkir ditaruh ke tatakan dan kertakan api dari perapian.

”...”

”...”

”...”

Merasa sudah kelewat larut untuk bertamu, Tuan Kim hendak berdiri. “Kalau begitu, karena sudah malam, saya permi—”

“Kamu—”

Tuan Kim mengerjapkan mata.

”......Kamu nggak nanya jawabanku?”

“Jawaban?”

...

“Oh!” sang Alpha pun tersadar. “Saya...saya pikir Anda masih membutuhkan waktu, jadi saya serahkan pada Anda saja. Bila Anda siap untuk memberikan saya jawaban...”

Tuan Hong mengerutkan alis. Tuan Kim, membaca suasana, kembali duduk di sofa di samping Tuan Hong. Ia tidak berkata apapun lagi, membiarkan Tuan Hong tenggelam dalam pemikirannya sendiri. Ketika dilihatnya Tuan Hong memainkan jari-jemarinya di atas pangkuan, ingin rasanya Tuan Kim meraih dan mengelus jari-jemari itu, persis seperti apa yang ia lakukan dua minggu yang lalu.

Tangan Tuan Hong tidak seperti Omega kebanyakan. Tangan itu besar dan jari-jarinya panjang. Tangan Tuan Kim saja bisa tenggelam dalam genggamannya. Namun, tangan yang besar itu begitu hangat. Kulitnya begitu halus. Diperbolehkan menyentuhnya, mengelusnya, membuat jantung Tuan Kim hampir meledak oleh rasa bahagia.

Apakah akan tiba saatnya dimana ia bisa menggandeng tangan Tuan Hong di pusat kota, menatapnya tersenyum bahagia di bawah sinar matahari pagi yang indah...?

“Tuan Kim.”

Lamunan buyar seketika.

“Apa...kenapa...kamu mau deketin aku?”

Kerjapan mata, lagi. Lebih lambat kali ini. Paras Tuan Hong seperti kesusahan. Seperti...menunggu sesuatu, entah apa. Tuan Kim berpikir sejenak, lebih berhati-hati dalam memilih kata.

“Saya berniat menikahi Anda.”

Sentakan napas terdengar dari Tuan Hong. Tuan Kim masih meneliti paras Omega itu.

”...Tuan Hong—” Tuan Kim buru-buru mengoreksi. “Maaf, maksud saya, Joshua.” Alpha itu berdeham satu kali. “Joshua. Saya meminta ijin untuk mendekati Anda karena saya ingin menikahi Anda. Sejak awal, saya serius terhadap Anda. Saya ingin membangun rumah tangga bersama Anda—”

“STOP!”

Terhenyak, baik Tuan Kim maupun Tuan Hong sendiri. Omega itu membekap mulutnya, seolah baru menyadari apa yang ia lakukan. Mereka kembali terdiam, namun agak tegang kini. Tuan Kim takut sudah salah berbicara dan Tuan Hong takut akan mengeluarkan lebih banyak lagi sisi jeleknya.

Yang membuat Tuan Hong sungguh bingung adalah dirinya sendiri. Ia membenci Alpha, tapi ia tidak bisa membenci Tuan Kim, seberapa kerasnya ia mencoba. Ia pikir, persetan dengan Alpha dan Omega, ia akan hidup seperti apa yang ia kehendaki. Tapi, di hadapan Tuan Kim, ia tidak ingin Alpha itu melihat dirinya yang sebenarnya...

Omega yang kotor...

(“Ah, ah, Omega sundal, basah banget di sini...”)

Napas Tuan Hong terhenti.

(“Ayo, buka pahanya.”)

Nggak.

Aku enggak—

(“Keras kepala, mirip ibunya.”)

Enggak—!

“Joshua!”

Peluh membanjiri wajah dan leher Omega itu. Napasnya kian memburu. Tuan Kim kontan cemas, meraup kedua pundak Tuan Hong dan menggoyangkannya, mengembalikannya ke dunia mereka saat ini. Saat Tuan Hong kembali bersamanya, matanya membelalak terbuka.

“Oh...”

“Joshua. Kenapa? Ada apa? Anda tiba-tiba gemetaran...”

Ingin Tuan Kim memeluknya. Ingin Tuan Kim membungkusnya dengan feromonnya, memberikan rasa nyaman yang diperlukan Tuan Hong saat ini. Tapi, karena Tuan Kim tidak memiliki hak untuk melakukan yang pertama, maka Alpha itu melakukan yang kedua. Jika ia dihujat norma, biarlah ia bilang bahwa instingnya yang menyuruhnya. Bahwa di dalam tubuhnya, ada Alpha yang resah karena Omega-nya sedang merasa tidak aman.

Maka, ia bebaskan, ia lepaskan kekangnya yang sempurna dan membiarkan feromonnya bebas mengisi ruangan, membuat Tuan Hong menghirupnya dalam-dalam. Ia menjadi jauh lebih tenang, tidak lagi nampak pucat. Tuan Hong pun, terbawa insting, mendekat untuk mengendus feromon sang Alpha di sisi lehernya. Tangan Tuan Kim bergerak otomatis, ingin melingkari pinggang Omega dambaannya, namun ia tahan mati-matian di sisi tubuhnya, berusaha tidak menyentuh sang Omega di luar kehendaknya.

Hanya ketika Tuan Hong mengusrek pipinya ke kelenjar feromon Tuan Kim, barulah sang Alpha berinisiatif menjauh. Omega Tuan Hong protes, namun sang Alpha tidak mengijinkan mereka lebih intim dari ini.

Tidak. Belum saatnya.

“Joshua,” kekhawatiran belumlah luntur dari sorot mata sang Alpha. “Apakah Anda baik-baik saja sekarang? Maafkan saya jika perkataan saya membuat Anda ketakutan.”

Tuan Hong menggeleng. Ia menggeleng dan terus menggeleng.

“Saya...saya tidak ingin memaksa Anda. Saya ingin mendekati Anda karena saya ingin menikahi Anda. Tapi, kalau Anda belum siap atau tidak ingin menikah dengan saya, maka saya akan me-menjauh,” rasanya tenggorokan Tuan Kim mendadak kering. “D-dan tidak mengganggu hidup Anda lagi.”

Hening. Tuan Hong berhenti menggeleng, tapi tidak jua mengangkat kepala.

”...Kenapa...kamu mau menikahiku?”

Tuan Hong tiba-tiba menatapnya.

“Kenapa? Aku...aku bukan Omega seperti yang kalian agungkan itu. Kenapa kamu, out of all people, mau menikahiku? Karena aku Omega, makhluk langka? Apa karena anak, karena aku bisa kasih kamu bayi Alpha? Atau karena kasihan, a generous act of a gentleman? Atau—”

“Joshua,” Tuan Kim menghentikan ocehannya. Dan, ketika ia melihat kebingungan dan kecemasan bercampur di pandangan Tuan Hong, ia memutuskan persetan dengan segala norma dan mengangkat tangannya untuk menyentuh pipi Tuan Hong. Bibir bawah Tuan Hong gemetar sedikit saat ibu jari Tuan Kim mengelus pipinya. Di antara balutan feromon yang lembut dan menenangkan, elusan hangat di pipinya membuat Tuan Hong bagai terhipnotis. “Tidak ada satupun dari yang Anda bilang itu yang menjadi alasan saya. Saya ingin menikahi Anda karena saya ingin membangun rumah bersama Anda, memiliki keluarga bersama Anda.

Saya...saya tidak lagi muda, seperti yang bisa Anda lihat. Saya pasrah apabila sisa hidup saya akan saya habiskan seorang diri. Bila saya tidak menemukan pasangan saya, maka saya akan bahagia tanpanya.

Tapi kemudian Anda datang.”

Elusannya tidak berhenti. Begitu halus...bagai menyentuh orang yang dikasihi... Begitu lembut seperti suara Tuan Kim saat ini...

“Anda datang dan dunia saya tidak lagi sama... Hati saya tidak lagi sama... Saya tertarik pada Anda dan saya ingin mengenal Anda. Setelah saya mengenal Anda, saya semakin tertarik pada Anda.

Joshua. Saya ingin menikahi Anda bukan karena Anda Omega, ataupun anak, atau semata kasihan. Saya ingin merentangkan lengan saya, memberi tangan Anda tumpuan ketika Anda berdansa dengan ceria. Saya ingin memanggang kue keju untuk Anda bawa sebagai bekal saat Anda bertualang menjalani hidup yang Anda inginkan.”

Tanpa disadarinya, bulir demi bulir air mata menuruni pipi sang Omega. Tuan Kim menyapunya lembut dengan kedua ibu jari.

“Saya ingin Anda bebas pergi ke arah manapun sayap Anda merentang, dan, saat Anda letih, saya ingin menjadi rumah tempat Anda pulang. Saya ingin menikahi Anda karena itu semua.”

Alpha ini...beda...

Alpha ini...bukan Alpha yang sama yang pernah menyakitinya...

“Tolong jangan menangis... Saya tidak mau Anda menangis karena saya...,” meski Tuan Kim berusaha, tangisan itu keluar terus-menerus.

Dan, Joshua Hong, menangkup kedua tangan di pipinya, memastikan Tuan Kim juga menatapnya.

”...Biarpun aku nggak lagi suci?”

Seperti mawar putih yang kamu bawa itu.