95.
Sebuah siluet membuka pintu perlahan. Langkahnya ringan penuh kesunyian. Di malam yang tenang dengan lorong terang benderang, adalah sebuah kekontrasan kondisi kamar kelas suite itu dari sisa rumah sakit di luar pintu tersebut. Kamar yang sejatinya mewah itu gelap, hanya bermandikan sinar bulan yang tumpah ruah dari sela-sela tirai. Bunyi tetes infus membuat melodi monoton yang menghanyutkan.
Tik. Tik.
Tik.
Bulu mata yang pendek. Dalam seragam rumah sakit serba putih, ia tertidur damai sekali. Sungguh berbeda dari eskpresi yang ia ketahui sebelumnya. Memang tidak banyak, namun jelas 'damai' bukanlah salah satunya.
Dihelanya napas. Ia pun berbalik, hendak berlalu.
”...Kenapa lo lakuin ini?”
Sentakan. Langkah terhenti. Sepatu mengetuk lantai. Bola matanya melebar.
“Lo pasti tau gue nggak akan bisa bayar balik semua ini,” Jeon Wonwoo bergumam sambil memandang langit-langit ruang rawat inapnya. “Gue nggak akan bisa balikin ini semua ke elo.”
Digertakkannya gigi. Meski masih lemah, emosi dan kekeras kepalaannya tetaplah yang menang. Ia mengangkat tubuhnya ke posisi duduk. Tatapnya tajam ke punggung lelaki itu
“MAU LO APA?!”
Bertambah lagi, hutangnya.
Keheningan yang merentang di antara mereka hanya pecah ketika lelaki itu menelan ludah, menegakkan tubuhnya, kemudian memutar badannya, dengan berani menatap balik langsung ke mata Jeon Wonwoo.
“Gue...gue cuma mau bantu,” ia memulai dalam nada merendah. Langkahnya saat kembali ke sisi ranjang rumah sakit pun seringan mungkin. “Soalnya gue denger temen-temen lo gantian jaga, jadi gue pikir lebih baik lo di kamar sendiri—”
“Shut the fuck up,” desisnya. Tidak secuil pun percaya omong kosong orang kaya macamnya. “Nggak usah sok suci lo. 'Cuma mau bantu'?? Yearite. Mau lo apa dari gue, hah?”
“Eng-enggak, beneran kok, gue cuma mau bantu, soalnya Josh temenan sama temen lo, dan gue mau bantu—”
Kasar dan tiba-tiba, Wonwoo menarik lengan lelaki itu, membawa tubuhnya jatuh tak sengaja ke tubuhnya sendiri dengan rintihan kaget.
“Bullshit,” bisikan di telinga si lelaki. “Nggak ada manusia yang nggak ngarepin apapun dari 'kebaikan'-nya. Gue nggak percaya sama sekali sama kampanye empati lo itu. Munafik.“
Ia menggigil ketika menatap Jeon Wonwoo. Mata yang penuh amarah dan keletihan pada dunia. Yang sudah melihat kekecewaan terlalu banyak dalam rentang hidupnya yang masih seumur jagung.
“Ayo. Bilang. Lo nggak akan ngelakuin ini semua kalo emang nggak ada yang lo mau dari gue.”
”...”
Padahal, padahal memang tidak ada—
”...bayar,” tahu-tahu, tanpa sadar, bibirnya sudah bergerak. Wajah mereka cukup dekat. Diterangi sorot sinar bulan, raut muka Jeon Wonwoo yang merengut nampak jelas. Mirip muka hewan domestik yang sudah tidak percaya lagi terhadap manusia. “Utang lo. Biaya rumah sakit ini. Lo harus bayar utang lo ke gue.”
“Gue nggak punya uang.”
“Rumah lo.”
Bola mata Wonwoo melebar.
“Juga.”
Cengkeraman Jeon Wonwoo di lengannya itu mengerat, namun ditahan pedihnya agar ia bisa melanjutkan.
“Gue nggak butuh uang lo. Gue mau lo bayar gue pake waktu lo.”
Diam sesaat.
“Lo nyuruh gue jadi babu lo?”
Ia menggeleng.
“Terus apa? Badan gue?”
Lagi, ia menggeleng. Wonwoo makin bingung.
“Gue cuma minta waktu lo. Kalo...kalo gue wa, lo harus jawab. Kalo gue ajak lo ngobrol, lo harus mau. Kalo gue ajak makan, lo harus ikut. Itu...itu aja kok...”
Sebuah pemahaman perlahan menyesap ke dalam benak Wonwoo.
”...Lo bayar biaya rumah sakit gue, kontrak rumah gue, cuma biar gue mau jadi temen lo?”
Sudut bibir lelaki itu berkedut.
“Are you that fucking desperate, Kwon Soonyoung?”
Soonyoung menunduk, enggan melihat sorot mata mengasihani darinya. Sudah biasa. Ia sudah biasa dikasihani. Bahkan Joshua masih sering memandanginya seperti itu.
Kasihan. Anak itu. Kasihan ya.
Bisikan. Bisikan.
Bagai makan buah simalakama.
”...yeah,” suaranya pecah, hampir menangis. Mendengar itu, mau tak mau, Jeon Wonwoo tertegun. Ia memandangi Soonyoung. “I'm that fucking desperate. Sekarang lo tau. Iya, gue sengaja pake cara gini. Iya, gue tau lo nggak akan bisa bayar.”
Diangkatnya kepala.
“Lo nggak punya uang, Jeon Wonwoo. Lo kasar. Gampang marah. Lo bahkan nggak bisa lagi ngeliat kebaikan orang. Tapi, lo punya banyak temen. Banyak banget temen yang peduli sama lo. Yang sayang beneran sama lo.”
“Oi—”
Kepala Soonyoung maju. Refleks, Wonwoo memundurkan kepalanya.
“Kenapa? Orang kayak lo, a Mr. Ebenezer Scrooge, kenapa bisa punya banyak temen? Kenapa bisa mereka sayang sama lo?” ia malah terus maju. “Gue nggak ngerti. Nggak paham. Kenapa...?”
Wonwoo mendecak, mulai risih, “Oi! Kwon!”
“Who are you, Jeon Wonwoo?“