94.

#minwonabo

Alpha...”

Seperti ada baut yang terlepas dari akal sehatnya.

Begitu ia mendengar satu kata itu diucapkan, sarat akan keinginan, Kim Mingyu tanpa sadar sudah berlari membawa Wonwoo jauh dari semua tatapan lapar yang mengincarnya. Bau sang Alpha merambah ke segala arah dalam usahanya menyembunyikan Wonwoo, yang masih saja memancarkan wangi manis itu, tak mampu ditahan.

Mungkin memang begitu.

Mungkin Wonwoo tak punya kendali sempurna akan tubuhnya.

Mungkin itulah kenapa mendadak saja wangi lezatnya tumpah ruah, membuat seluruh Alpha, termasuk Mingyu, gila. Dan ketika gigitan kecil itu terasa di sisi lehernya, ia kehilangan segala kekang diri. Yang ia tahu, ada Omega di pelukannya, willing and able,

and begging.

Ia masih gelap mata ketika mereka mencapai mobil yang diparkir. Direbahkannya Wonwoo di sofa belakang. Susah payah, ia menutup dan mengunci pintu. Jantungnya berdegup kencang. Napasnya kian memburu. Di bawahnya, tergolek pasrah sesosok Omega. Parasnya indah. Bibir merahnya membuka. Air matanya turun seperti berlian. Sekujur tubuhnya bersimbah keringat. Basah. Perlu dua detik untuk Mingyu menyadari bahwa penyebabnya bukan hanya keringat.

Mingyu...

Lagi-lagi nada itu. Nada yang mendorongnya ke sisi jurang. Memohon, mengiba.

Dan wanginya...Ya Tuhan...

Mingyu membawa telunjuknya menyusuri perut Wonwoo yang terbalut pakaian, naik ke tengah dada, kemudian leher, dagu...

...dan bibir.

Napasnya tercekat kala Wonwoo mengulum telunjuk itu. Mulut sang Omega sungguhlah jujur. Tanpa ragu, lidahnya menjilat dan giginya menekan pelan jari tersebut. Ia meneguk ludah. Bagian depan celana panjangnya mulai terasa sempit. Saat ia menarik paksa telunjuknya, seutas benang liur masih menghubungkan jarinya dengan lidah sang Omega.

“Alpha...Alpha...,” Wonwoo mengerang. Putus asa. Dibukanya kedua kaki selebar yang ia bisa di jok belakang mobil. Ia begitu basah dan tak sabar. Udara di sekitar mereka berat juga pengap, penuh deru napas dan desahan pelan. Peluh menitik di kening Mingyu tanpa disadarinya, karena mata sang Alpha tak sedetik pun meninggalkan mata Omega-nya.

Please...” Wonwoo merengek. Mengundang. Tak sabar untuk ditindih, digigit kuat, dan dimiliki seutuhnya...

Mendadak, dering telepon memecah kabut nafsu di mata Mingyu. Nada yang ceria, hampir-hampir menyebalkan, yang ia set hanya untuk satu orang. Untuk Minghao.

Dada Mingyu masih naik-turun. Napas masih memburu. Namun, kesadaran, perlahan tapi pasti, merayap ke dalam benaknya. Ia mengusap muka, menarik napas dalam-dalam, kemudian dihembuskan sekuatnya.

Fuck, what did he just—

“Won....” dielusnya pipi Wonwoo. Sang Omega, masih tenggelam dalam gairah, meraih tangan Mingyu, menciumi telapak dan jari-jarinya yang besar. “Wonwoo...,” Mingyu menggeram, berusaha menahan tangannya dari mencengkeram leher Wonwoo dan menjadikannya miliknya. Ketika peringatannya tidak diindahkan, Mingyu menggertakkan gigi.

Omega, stop.

Kaget.

Bagi Omega, perintah Alpha dalam suara barusan adalah mutlak. Harus dituruti. Meski mengerang kesal, ia pun berhenti. Tubuhnya penuh oleh peluh dan hasrat yang tak terbendung. Menatap keadaan Wonwoo, Mingyu menggigit bagian dalam pipinya hingga berdarah. Nada dering itu masih terus bernyanyi. Sebuah decakan, lalu ia mengangkatnya.

“Hao?” ketusnya. “Nggak, gue nggak lagi ngapa-ngapain.” Mingyu beranjak. Dibukanya pintu dan ia turun dari mobil, meninggalkan Wonwoo sendirian di dalam.

Sendirian.

“Hah? Nggak kedengeran suara lo—”

Tenggelam dalam penolakan gamblang.