67.
“M-ma-hic-maaf, Mingyu, s-saya-hic–”
“Ssh.“
Lembut sebuah kecup pada ujung hidungnya. Wonwoo refleks menutup mata sambil menahan napas. Kecupan kedua terasa di pinggir pelupuk matanya yang masih basah oleh air mata. Kontras antara hangatnya bibir Mingyu dengan kulitnya yang dingin membuat kelopak matanya berkedut, diam-diam bergidik.
Ia bisa menciumnya. Aroma Alpha yang kuat, yang dalam dan menenangkan. Yang sengaja Mingyu keluarkan untuk membuat dirinya merasa aman. Yang membuat dirinya ingin bermanja pada lelaki itu, menceritakan segalanya, perihal Jihoon, perihal Soonyoung, sampai apapun yang mengganjal di dadanya habis tak bersisa.
Wonwoo menghirup napas dalam-dalam, membiarkan dirinya menikmati bau khas sang Alpha.
“Mingyu...”
Matanya membuka tepat saat Mingyu menunduk pada ceruk lehernya. Di situ, dekat tulang selangka, adalah area yang paling penting bagi spesies mereka. Area yang selama ini almarhumah ibunya wanti-wanti untuk dia jaga, untuk dia jauhkan dari siapapun kecuali Alpha yang terpilih untuknya.
Scent gland.
“Mingyu...,” bergetar, suara Wonwoo. Takut, tetapi tubuhnya juga enggan menolak. Pasrah dalam dekapan Alpha-nya.
Satu gigitan.
Satu gigitan dan Wonwoo akan menjadi miliknya.
Selamanya.
. . . .
Tapi Mingyu adalah Alpha yang, sejatinya, mampu menahan diri dengan sangat baik, meski ia kehilangan kendali di pertemuan pertama mereka. Dia jujur ketika mengaku bahwa dia tidak tahu mengapa bisa sampai kehilangan kendali seperti itu. Meski sekarang ia paham mengapa.
Wangi sang Omega sudah kembali ke semula, tanda bahwa usahanya untuk menenangkan Wonwoo berhasil. Wangi lezat yang menguar mulai membuatnya mabuk lagi. Mingyu membiarkan tubuhnya mengambil kendali sedikit dengan menempelkan hidungnya persis di scent gland Wonwoo dan menghidunya seolah kelaparan.
The Omega whines. He fucking whines.
Taring Mingyu rasanya gatal, sebagaimana tangannya mati-matian ia tahan agar tetap di kedua lengan atas Wonwoo. Air liurnya hampir menetes ketika ia menghidunya lagi dan lagi,
dan lagi,
mengisi relung hidungnya dengan aroma lezat sang Omega banyak-banyak. Dia menggeram rendah di batang tenggorok, membuat Wonwoo gemetar. Kepalanya berputar. Pening. Apakah ini saatnya? Apakah ini saat ia digigit, diklaim menjadi milik seorang Alpha selamanya? Apakah...apakah...
...apakah benar ini yang dirinya inginkan?
“Wonu..,” Alpha-nya mendengking. Sekali lagi hirupan, lalu Mingyu meninggalkan area itu. Dia mengeluskan pipi dan hidungnya ke sisi leher Wonwoo, lalu ke pipi Wonwoo. Ke kepalanya. Kening.
Kembali membaluri baunya agar Wonwoo berbau sama sepertinya.
Entah sejak kapan Wonwoo sudah duduk di pangkuan Mingyu. Penurut, dengan lengan melingkari kepala Mingyu dan leher sengaja dipampangkan. Sebuah reaksi alamiah ketika seorang Alpha sedang membaui Omega-nya. Mereka seperti itu selama lima menit.
”...Wonwoo udah makan?”
Di telinganya, Mingyu berbisik, sebelum dikecupnya telinga itu, sending shivers down his spine.
“Belum...”
“Oke. Bentar ya, aku masakin,” sekali lagi, untuk yang terakhir, ia menghirup lagi, lama, kemudian menjauhkan tubuh mereka. “Makan yang banyak ya?”
Sebagaimana Alpha secara instingtif memiliki dorongan untuk memberi makan Omega-nya, untuk menjaga Omega-nya agar berisi dan sehat. Ia ingin melihat Wonwoo selalu ceria, selalu tersenyum. Tidak akan lagi Omega itu menangis seperti tadi. Mingyu tidak sadar ia memancarkan itu semua melalui pandangan matanya.
“Hmm?”
Wonwoo baru sadar ia tersesat di kedua bola mata yang ramah itu.
Ia pun buru-buru mengangguk.