5.

#gyuhaoaparentssequel

Helaan napas yang berat mengikuti gerakan Minghao menaruh handphonenya ke meja kecil di samping bak.

“Kenapa?” bunyi kecupan kencang bergema di kamar mandi hotel saat Mingyu mencium pundak telanjangnya.

“Kakak kayaknya marah sama kita, Pa...,” menghela lagi napasnya, ia menyandarkan punggung ke dada suaminya, mencari posisi paling nyaman. Busa yang memenuhi bak mandi itu beraromakan lavender, menempel pada kulit mereka berdua. Tidak mengindahkan itu, Mingyu terus menciuminya, dari bahu naik ke sisi leher, membuat Minghao otomatis menelengkan kepala.

“Marah kenapa?”

“Kayaknya dia ngira kamu suruh dia pegang Totoratei karena kamu—ah—nggak mau dia jadi anak nggak berguna—”

Jilatannya terhenti. Kim Mingyu terkejut mendengar itu. Sadar akan hal itu, Minghao buru-buru membalikkan badan, menangkup kedua pipi suaminya.

“Mingyu...”

“Aku—aku nggak pernah—bukan itu maksudku nyuruh dia—aku enggak—bukan itu—”

“Mingyu. Mingyu. Iya, Sayang, aku paham. Kamu nggak akan pernah mikir anak kamu beban. Kakak juga pasti paham. Dia cuma...ini semua baru buat dia...”

Paras terluka suaminya membuat pedih dada Minghao. Oh, ia paling benci melihat kekasihnya sedih seperti ini (dan tidak ada yang sanggup membuat Kim Mingyu begitu terluka selain perbuatan anak-anaknya sendiri). Lelaki besar itu menunduk lesu, membiarkan Minghao menciumi bibirnya, menekan dada mereka.

Ketika ia sadar, Minghao sudah naik ke atas pangkuannya. Tangan Mingyu otomatis meremas bokong suaminya di bawah air, sementara mereka berciuman mesra begitu lama. Tubuh mereka lekat menempel, sehingga Mingyu tahu bagaimana kerasnya kejantanan yang menggesek miliknya sendiri.

“Hmm,” ia tersenyum jahil. “Kalo ini cara kamu ngehibur aku, aku mau sedih sering-sering lah, Ma.”

Kekehan geli datang, sebuah bunyi tinggi yang merdu. “Jangan sampe pulang dari sini, si kembar ada adek lagi ya, Pa,” memutar bola mata, Minghao memperingatkan suaminya, yang hanya dibalas oleh tawa dan ciuman gemas.

Menjilat lidah Mingyu sebelum menjauhkan bibir mereka, Minghao mengelusi pipi kekasih hatinya dengan lembut.

”...Aku yakin Kakak pasti belajar banyak dari pengalaman ini.”

“Mm...”

“Kamu udah lakuin yang terbaik buat dia, Pa...”

“Tapi kalo dia minta pulang ke kamu, pulangin ya Ma? Aku...aku nggak bisa kalo mikirin anak kita nggak bahagia karena keputusanku—”

Tangkupan tangan Minghao pada wajahnya mengerat.

“Iya, Sayang...,” kecupan. “Iya..” kecupan lagi.

Bibir Mingyu lembut dan penuh. Geliginya rapi, membuat Minghao senang menelusuri deretan gigi putih itu dengan ujung lidahnya. Ia paling menikmati ketika berada di atas Mingyu. Pun ketika Mingyu merangkul pinggangnya, berupaya mengambil alih kendali, Minghao menekan kedua lengan lelaki itu ke sisi bak mandi. Air bergoyang melebihi permukaan, meluncur jatuh ke lantai keramik.

Oh ya...Minghao sangat suka berada di atas suaminya.

Lelaki besar di bawahnya itu menahan napas, melihat bagaimana ringisan penuh arti terbentuk di wajah indah suaminya. Bahkan bila ia adalah belalang sembah yang akan dimakan kepalanya sehabis bercinta, pun ia amat rela.

Karena tiap sel yang membentuk keberadaannya adalah milik Xu Minghao semata.