31.

#soonwoo

Feels so weird.

Entah bagaimana, Wen Junhui menemukan dirinya duduk di samping Wonwoo. Di sebelah kirinya, ada Jihoon. Di sebelah kanan Wonwoo, ada Seungcheol. Mereka berempat duduk di booth bundar, sementara dua orang di seberang mereka di kursi tersendiri.

Kwon Soonyoung sama anjing penjaganya, yang diperkenalkan sebagai Joshua.

Sungguh, sungguh aneh.

Pelayan datang untuk mengambil pesanan. Jun hendak membuka buku menu, namun Kwon Soonyoung menyambar duluan, memesankan mereka semua makanan di buku menu dan meminta pelayan segera pergi.

Oh ya. Kamu nggak salah baca.

Kwon Soonyoung memesan semua makanan di buku menu.

Jun cengo. Ini pasti rumornya bener ya, kalo Kwon Soonyoung tajir melintir. Kalo nggak, ya...mungkin dia dede gula om-om tajir melintir. Soalnya nggak mungkin anak kuliahan biasa bisa beli semua makanan di restoran mahal kayak begini.

Jun mengerling ragu-ragu ke ketiga temannya. Hanya Jihoon yang nampak ragu, sama seperti dirinya. Wonwoo menunduk dan merapatkan bibir, tidak bereaksi apapun, sementara Seungcheol memasang tampang paling serius yang dia punya, macam siap maju ke depan buat presentasi sidang aja.

(Yawla, jangan diingetin...)

“Umm...,” mungkin harusnya dia diem aja. Mungkin yang mecahin suasana awkward gini harusnya si Kwon Soonyoung. Namun, nasi telah menjadi bubur. Perhatian di meja itu kini berfokus padanya, memaksa Jun menelan ludah cepat-cepat. “Ini...nggak ada angin, nggak ada ujan, mendadak kita ditraktir gini. Emang ada apaan sih? Ahahaha...ha...”

Nggak tau mau ngomong apa lagi. Malah makin awkward, bangsad ah.

Kwon Soonyoung langsung menjawab, mengejutkan Jun (dan Jihoon). “Gue...gue sama Joshua mau minta maaf sama lo semua...sama...sama W—” lirikan buru-buru. “—Jeon. Sumpah, gue nggak nyuruh Joshua ngelakuin itu. Tapi...tapi jangan marah sama Joshua. Dia ngelakuin itu demi gue. Jadi, jadi...kalo lo mau marah...” Suara Kwon Soonyoung segera pudar menjadi cicitan semata. “...marah ke gue aja. Please. Joshua nggak salah apapun.”

“Tsk!” decakan. Datangnya dari bibir Joshua. Lelaki itu menaikkan sebelah kakinya ke atas kursi dengan satu lengan bertengger di lututnya yang menekuk. Ia cukup ramping dan kursi itu cukup besar untuknya memungkinkan berpose seperti itu. Dihentaknya kepala ke belakang hingga bersandar ke kursi. Di antara kedua alisnya, terdapat kerutan kentara sebagai tanda kekesalan, jelas tak suka akan situasi saat ini. “Oke, fine. Gue ngelakuin itu semua karena si bangsat ini—” ditunjuknya Jeon Wonwoo, yang dibalas lelaki itu dengan rengutan di balik kacamata bundarnya. “—udah nendang perut Hosh sampe lebam begitu. Ada hak apa lo, berani-beraninya nyakitin dia, hah?” Bukannya minta maaf, Joshua malah menyiram bensin ke api. “Dia demam semaleman abis lo tendang. Emang dia nggak apa-apa selain memar, tapi salah dikit aja, organ dalemnya bisa luka. Lo sadar itu nggak, hah? Emang lo punya duit berapa, sanggup lo bayar biaya operasi dia kalo dia kenapa-napa, hah???”

Won,” Seungcheol mengencangkan gamitannya di bahu Wonwoo ketika anak itu hendak berdiri dan menyerang Joshua lagi. Meski Seungcheol nampak lemah dan mudah dikerjai, nyatanya ia adalah lelaki yang lebih kuat daripada dirinya. Ia bahkan pernah membanting Mingyu saban hari untuk menghentikan anak itu dari perbuatan bodoh saat mereka minum-minum di rumah Wonwoo. Mau tak mau, Jeon Wonwoo mendengus menahan amarah yang keburu terkipas dengan ahli oleh Joshua Hong, lalu kembali duduk. Pasrah dalam rangkulan Seungcheol pada sekeliling bahunya. Seungcheol tersenyum, bersyukur diam-diam karena Wonwoo mau mendengarkan perintahnya. Kemudian, Seungcheol memandang Joshua.

“Maaf ya,” tatap mereka bersirobok. Keduanya tidak ada yang sudi mundur dari pertentangan ini. Dua orang yang sama keras kepalanya. “Gue mengakui itu semua. Anak ini...ah, dia ini orangnya gampang marah. Gue mengakui kalo lo ada benernya. Nggak menutup kemungkinan kondisi Soonyoung lebih parah dari yang udah terjadi. Lo bener. Itu bisa aja.” Ia menoleh ke arah Soonyoung. “Maaf ya, Soonie. Apapun alesannya, nendang lo kayak gitu nggak bisa dibenerin.”

Soonyoung segera mendongak, hendak menampik, namun Seungcheol lebih cepat.

“Tapi,” sambungnya. Ia mengelus lengan atas Wonwoo yang mulai menegang karena saking kuatnya ia meremas tangannya sendiri. “Gue juga mau lo sadar perbuatan lo itu salah, Soon.”

Soonyoung mengerjap, “Eh?”

“Wonu bukannya nendang lo nggak ada sebab. Sebab pertama, lo maen baseball di kantin. Itu aja udah salah banget. Kantin tempat makan, bukan lapangan tempat lo olah raga.”

Soonyoung segera mengangguk. “Iya,” akunya. “Maaf...”

“Gue yakin yang risih ngeliat lo kayak gitu pasti banyak, cuma mereka nggak ngomong aja. Lo juga harus punya sedikit empati lah.”

“Iya..”

“Sebab kedua—hmph!”

Tangan membekap mulut Seungcheol. Tangan Jeon Wonwoo. Ia menatap tepat ke arah Kwon Soonyoung, tegas dan mantap dan tanpa rasa takut. “Nggak ada sebab kedua. Gue nendang lo karena lo annoying dan akhirnya makanan gue juga jatoh. Itu...refleks.”

Soonyoung menelan ludah.

“Denger, Kwon Soonyoung. Sebenernya gue nggak mau minta maaf, soalnya anjing penjaga lo itu,” Wonwoo mengedikkan kepala ke arah Joshua. “Udah nonjok gue sampe lebam juga di depan satu kampus. Jadi gue rasa udah break even juga.”

Ia menarik tangannya dari mulut Seungcheol.

“Tapi, kalo emang ini semua bisa kelar dan lo bedua nggak akan muncul lagi di idup gue, dan bisa bikin keadaan balik kayak sebelom kejadian di kantin itu, gue bakal minta maaf. Itu cukup kan? Lo mau gue minta maaf dan semua bakal kelar kan, udah?”

Sungguh, nggak ada yang Wonwoo mau selain itu kok. Selain kehidupannya yang tenang dan jauh dari dua orang sinting itu balik lagi. Itu aja.

Joshua mengerutkan alis. Ia tidak suka bagaimana Jeon Wonwoo jelas-jelas tidak punya rasa bersalah atas perbuatannya. Namun, tugas dia sudah selesai. Joshua tidak sebegitu buta untuk mencucukkan hidung lebih jauh lagi di sebuah peristiwa yang hampir selesai dan membuatnya bertambah panjang. Maka, alih-alih protes, ia menoleh pada Soonyoung, seperti apa yang dilakukan seluruh meja itu sekarang, menunggu anak itu angkat bicara.

Dan, pada saat ia akhirnya angkat bicara, Kwon Soonyoung hanya menggeleng, lalu tersenyum simpul.

“Nggak usah minta maaf,” ucapnya. “Gue yang harusnya minta maaf. Maafin gue dan Joshua. Gue janji nggak bakal masuk lagi ke dalem idup lo kok. Gue mohon maafin kita berdua.”

Diam sejenak, sebelum Wonwoo bergumam lirih, “...Iya. Gue maafin lo bedua.”

Lalu, helaan napas. Berat tapi lega. “Makasih, Jeon Wonwoo, udah mau maafin kita,” senyumnya semakin lebar. “Lo tetep idup ya.”

“Hah?” Wonwoo bingung.

Jun melirik pada Jihoon, yang juga sama bingungnya. Seungcheol menggeleng kecil saat Wonwoo menoleh padanya, meminta jawaban. Lelaki itu juga tidak paham.

Tentu saja. Mana ada yang paham. Yang paham cuma Joshua seorang, yang kini meraih tangan Soonyoung di bawah meja dan meremasnya kuat, memastikan Soonyoung sadar ia ada di sana, di sisinya.

Selalu.