300.
Ketika Seungcheol keluar dari kamar mandi, dilihatnya Jeonghan sedang mondar-mandir di ruang tengah kamar hotel mereka yang amat mewah. Entah Mingyu itu boros kuadrat atau cinta setengah mati sama kakak-bukan-kandungnya, sampai-sampai ia membooking kamar hotel president suite untuk kedua calon mempelai selama di Bali. Lebih gilanya lagi, untuk besok malam hingga seminggu ke depan, Alpha itu menyewa honeymoon bungalow lengkap dengan pantai privat yang sangat indah (dan sangat mahal tentunya) juga mobil sport merah dengan dua tempat duduk.
Begitu Jeonghan mendengarnya dari WO, ia menyuruh Seungcheol membeberkan penyebab segala keganjilan itu. Jeonghan kemudian melipat lengan di dada. Kepalanya menggeleng dan ia menghela napas, namun tak berkomentar apapun.
Dalam keheningan, sisi Alpha Seungcheol mau tidak mau membandingkan bulan madu hadiah Mingyu dengan bulan madu yang ia sendiri telah rencanakan, yaitu menginap di suite hotel biasa, lalu berkeliling kota berdua memakai sepeda motor rental, bersantai di beach club memesan seporsi pizza untuk berdua... Yah, seperti turis kebanyakan. Seperti turis biasa pada umumnya. Mana bisa Seungcheol memberikan segala kemewahan ini untuk Jeonghan—
“Stop,” ucapan Jeonghan menghentikan pemikiran sang Alpha. “Kekayaan Mingyu emang bisa bikin orang sakit kepala. Stop, Cheol, nggak usah dipikirin.”
Seungcheol menelengkan kepala, heran bagaimana Jeonghan dapat membacanya seperti itu. Sang Omega menghela napas lagi.
“Kalian Alpha semua sama aja. Kompetitif. Padahal, nggak semua Omega peduli siapa yang lebih kaya, siapa yang lebih bisa menyenangkan siapa, siapa yang lebih pantas untuk siapa,” kekasihnya itu memeluknya dari samping. “Omega juga bisa milih Alpha yang dia mau, you know...”
Seungcheol tersenyum lemah saat itu dan memeluk balik sang Omega.
“Cheol.”
Ingatan akan malam itu terputus begitu saja saat Jeonghan memanggil namanya.
“Ya?”
“Aku takut, Cheol...,” baru disadarinya sang Omega sudah duduk di sofa. Seungcheol pun ikut duduk di sebelahnya dan merengkuh pundak, membawa kepala Jeonghan ke ceruk lehernya. Hanya bau khas Alpha yang efektif menenangkan Omega dengan segera. “Gimana kalo besok kacau...? Gimana kalo batal lagi...? Nikahan kita udah batal satu kali. Aku...aku sempet mikir jangan-jangan ini karena memang kita nggak dibolehin ni—”
“Hani.”
Jeonghan meneguk ludah. Alpha itu menatapnya tajam. Meski biasanya lembut, Seungcheol mampu tegas ketika ia harus tegas. Tahu kapan harus mengeluarkan sisi Alpha-nya untuk kepentingan banyak pihak. Itulah salah satu alasan kenapa Jeonghan jatuh cinta padanya. Seungcheol mengangkat dagu Jeonghan perlahan sampai kekasihnya menatapnya tepat di mata.
“Kalo besok batal lagi, aku bakal adain tiga kali. Kalo yang ketiga juga batal, aku adain yang keempat. Kalo itu batal juga, kita ke KUA langsung aja,” cengiran jahil merekah di wajah Seungcheol, membuat Jeonghan tersenyum. “Jangan mikir aneh-aneh, Hani. Kamu nerima aku jadi Alpha kamu selamanya kan?”
“Mmm...”
“Kamu mau jadi Omega aku selamanya?”
Senyuman kekasihnya sangat indah, bagai malaikat jatuh dari khayangan. “Mau,” akunya kemudian.
“Ya udah. Itu aja kok yang penting,” sang Alpha tertawa. “Yang lain cuma masalah kertas dan pengakuan. Yang penting aku sama kamu udah sama-sama yakin.”
Seungcheol mengulurkan kelingkingnya pada Jeonghan. Ikut terkekeh, sang Omega mengaitkan kelingkingnya sendiri ke kelingking Alpha-nya. Dengan ceria, ia mengucapkan mantra janji kelingking.
“Janji ya~ Kalo bohong, lidahnya—”
—ditusuk seribu jarum.
Namun, bukan jarum, melainkan lidah lain pada lidahnya. Bibir lain pada bibirnya. Jeonghan menghela napas ke mulut kekasihnya. Seungcheol hangat dan lembab. Feromon Alpha-nya perlahan tapi pasti menebal. Musk, cokelat pahit, bercampur buah stroberi yang segar. Bau kesukaan Jeonghan.
Bibir mereka berpisah dengan bunyi keras. Menarik napas, sang Omega mengelus bibir di hadapannya dengan ibu jari. Ia tidak menghiraukan tangan-tangan Seungcheol yang sudah bergerak menyisir pakaiannya, berusaha membuka kancing depan kemejanya. Ringisnya jahil ketika berkata,
“Calon mempelai nggak boleh ketemu lho sebelum nikah, apalagi tidur bareng.”
Seungcheol ikut meringis.
“Selibat? Boleh juga,” dikecupnya bibir Jeonghan, lagi. “Tapi besok bakal semaleman sampe pagi. Emang kamu kuat?” Nada bicaranya mengejek, menantang sang Omega.
Jeonghan tidak menjawab, namun kilauan berbahaya di bola mata serta senyuman penuh arti yang ia sunggingkan sudah menjelaskan segalanya. Seungcheol paham benar bahwa Omega-nya itu sangat menyukai tantangan.