29.

#soonwoo

“I fucking hate you already.”


(“Kamu sendirian?”)

“Umm,” Kwon Soonyoung kecil mengangguk. “Kamu juga?”

(“He-eh. Rumahku kosong, jadi aku kabur main aja. Mau main bareng?”)

“Kalo aku, rumahku lagi rame, jadi aku juga kabur hehe. Ayo main!”


Flight of The Bumblebee indeed. Mungkin Joshua belum pernah menyetir segila pagi ini hingga jarak 30 menit dari jalan bebas hambatan yang dibangun di sekitar kediaman rumah Soonyoung ke kampus dapat ia tempuh dalam 7 menit saja. Begitu sampai, ia parkir dalam sekali masuk, melempar pintu hingga terbanting dan bergegas masuk.

...tapi, rupanya dia tidak perlu masuk. Dua orang itu ada di sana, di tempat parkiran, berdiri terlalu dekat dengan Jeon Wonwoo memegangi rahang Soonyoung.

Fuck. Fuck, fuck, fuck. What did he do to Hoshi now?

Joshua berlari, tidak peduli akan hal lain selain Kwon Soonyoung.


“Kenapa rumah kamu kok kosong?”

(“Hmm...kata Mama sih dia sama Papa lagi cari duit, jadi aku disuruh jaga rumah.”)

“Ooh. Emang duitnya pergi ke mana, kok dicariin sampe kamu ditinggal?”

(“Ppfft! Hahaha! Wah, ke mana ya, aku juga nggak tau nih.”)

“Kamu mau cari duitnya? Kalo mau, aku bantuin sini, biar kalo duitnya udah ketemu kan kamu nggak ditinggalin Papa Mama kamu lagi.”

(“...haha. Kamu...anak baik ya?”)

”?”


“Won, lepasin.”

Itu Seungcheol. Untuk kedua kalinya, Seungcheol menginterupsi. Cengkeraman tangannya lebih kuat daripada Wonwoo, sehingga, mau tak mau, ia melepaskan Soonyoung. Anak itu terhuyung ke belakang dan, dengan segera, pinggangnya ditangkap seseorang ke dalam pelukan.

Fuck...”

Orang yang kemarin. Si anjing penjaga.

”...What did I tell you, Jeon Wonwoo?”

“Joshi...,” buru-buru, Soonyoung memeluk lengan yang melingkari pinggangnya. Ia menggeleng lagi. “Joshi, don't. Gue nggak pa-pa. Don't. Don't.”

“Hai,” Seungcheol mengambil alih suara Wonwoo. Ia mendongak menatap lelaki yang memeluk Soonyoung itu. Bener juga si Juned, batinnya. Mukanya doang sih lusyu. “Gue Choi Seungcheol. You see, anak ini, Jeon Wonwoo, di bawah asuhan gue. Gue bertindak sebagai abang sekaligus bokapnya saat ini. So, maafin anak gue ini kalo ada salah ya. Gue yakin ini semua cuma salah paham. Kalo udah mendingan, mending kita ngobrol aja di kantin, gimana? Ato di kafe di luar kampus? Biar kejadian kayak gini nggak keulang lagi?” Tanpa sadar, Seungcheol mengusap-usap tengkuk dan punggung tangan Wonwoo, menenangkan anak itu.

”...Maaf,” suara mencicit itu suara Kwon Soonyoung. “Maaf. Maafin gue. Gue nggak nyuruh Joshua ngehajar lo. Maafin Joshua. Maafin gue. Maaf. Maaf.

“Hosh—”

“Minta maaf. Joshua. Josh. Minta maaf. Please.”

Joshua mengernyitkan alisnya, memandangi wajah ketakutan Soonyoung. “...Sampe kapan lo mau jadi anak baek gini, Hosh? Ditindas terus, ha? Lo harus punya harga diri sedikit. Kenapa lo biarin semua orang injek-injek lo kayak gini? Lo pikir gue seneng ngeliat lo jadi gini??” bentaknya.

Namun, Soonyoung menggeleng. “Bukan dia yang mulai. Dia tadi udah mau pergi. Gue...gue yang narik dia. Salah gue. Dia bengkak gitu pun karena gue. Lo ngehajar dia demi gue, makanya itu pun salah gue. Semua salah gue,” ia tegas berkata. “Minta maaf, Joshua. Kalo lo kesel, hajar gue aja.”

...

Joshua menghela napas, “Like I could...”

Seungcheol tersenyum.

“Yah, sebagai pernyataan maaf, gimana kalo traktir kita makan siang aja?”


”...Eh?”

(“Iya, Tuan Muda. Saya dengar kalau anak itu sudah meninggal.”)

(“Mengerikan ya, katanya bunuh diri sekeluarga...”)

(“Serem ya kalo kelilit utang, orang bisa jadi sejahat setan...padahal anak itu masih kecil...”)

(“...Tuan Muda?”)