22.

#soonwoo

“Hosh.”

Panas. Badannya panas. Pandangannya terasa kabur. Rasanya sungguh tidak enak. Meski kompres menekan perutnya dan keningnya, rasanya seluruh badan panas.

“Joshi...,” erangannya kering. Ia butuh air.

Joshua, menghela napas, duduk di pinggir ranjang Soonyoung untuk membantunya duduk. Segelas air putih hangat ia minumkan padanya dengan bantuan sedotan. Beberapa tegukan kecil dan Soonyoung melepasnya, kembali merebah di kasur.

”...Kamu ke mana?”

Joshua tidak menjawab, hanya tersenyum simpul. “Apa kata dokter?” malah ia balik bertanya.

“Katanya,” Soonyoung berusaha memejamkan mata. “Katanya demamnya karena reaksi luka di dinding perut dalem. Emang organ internal nggak apa, tapi tetep aja kena benturan jadi... Uh, katanya harusnya besok demamnya udah turun...”

“Good. Sleep,” ditutupnya kedua mata Soonyoung dengan telapak tangan Joshua yang besar. Ia tidak mengijinkan pelayan manapun masuk selama dirinya ada di sini. Ia sudah cukup untuk merawat Soonyoung, seperti yang sudah ia lakukan entah berapa kali dalam hidup mereka berdua. Menjadi tetangga sekaligus teman sejak kecil membuat mereka tahu rahasia dan cerita buruk masing-masing dari mereka. Sekarang, Soonyoung hanya membutuhkan Joshua. Bukan pelayan, bukan keluarganya, dan jelas bukan Jeon Wonwoo.

“Joshi...”

Erangan lagi. Tapi, kali ini berbeda. Ia menatap Soonyoung dengan mata tertutup tangannya, keringat mengucur dari sisi kening dan lehernya, pipinya yang merona karena demam dan...bibir merahnya...

Joshua tersenyum. Ia maju dan mencium bibir itu. Bibir yang mencium balik, mencari kehangatan dan kenyamanan di sana. Familiaritas. Seperti seharusnya. Seperti apa yang sudah mereka lakukan bertahun-tahun ke belakang. Mencium Joshua memberikan rasa aman karena Joshua adalah Joshua, orang yang ia sayangi. Dia takkan pernah berubah.

Joshua takkan pernah berubah. Hanya dialah karang kokoh yang menjaga Soonyoung dari terombang-ambing di lautan kehidupan. Hanya dia yang Soonyoung punyai.