174.
Joshua menghilang ketika ia bangun keesokan paginya.
Seungcheol tersentak dari tidur karena tangan-tangan mengguncangkan tubuhnya. Ketika ia membuka mata, Wonwoo tepat di hadapannya, nampak segar karena sudah mandi, dengan raut cemas dan bingung.
“Kenapa-apa-hah-”
Dengan mata setengah terpejam dan rambut acak-acakkan, Seungcheol berlari bersama Wonwoo ke kamar Joshua. Di sana, telah berkumpul Jihoon, Vernon dan...
Seungcheol menggigit bibir.
...Minghao.
Lelaki itu diam tak bergerak dalam duduknya. Kepala menunduk. Wajah tertutupi kedua tangan.
“Won..”
“Bang,” ia segera menghampiri Jihoon. “Kenapa dia bisa pergi?”
“Soal itu...”
Vernon menyela mereka.
“Dia ninggalin ini,” dibacanya keras-keras isi kertas itu.
“Hey guys. I'll be off for a while. I just thought that this life becomes kinda boring, doesn't it? The people, the routine... So, I just gotta go for a bit. Nggak usah dicari guenya, nanti juga kalo kita jodoh, gue bakal balik lagi. Mungkin.
Thanks for everything. Say sorry to Cheollie and Wonu for me ya, kalo rencana gue gagal, hha. Hoon, sori selalu bikin lo pusing. Vern, well, I've done enough for you and it's time to let me go, okay?”
Vernon tidak tersenyum membacanya.
“And...Hao. I release you. Be happy, daddy.”
Kemudian,
hening.
.............
......
...
”....D-dia...nggak bakal...bunuh diri...kan?”
BRAAAKKK!!
“HAO!”
Gamitan kasar di kerah Seungcheol membuat kantuknya seketika sirna. Ia tahu ia sudah salah bicara hanya dengan melihat betapa mengerikan tatapan lelaki itu, seolah siap meremukkan setiap persendian di tubuh Seungcheol. Dan Seungcheol yakin Minghao bisa melakukannya.
“Jaga mulut lo.”
Menahan napas, Seungcheol mengangguk cepat-cepat. Wonwoo menaruh tangannya di pundak Minghao, mencoba menenangkan temannya itu. Dengan decakan lidah, Minghao melempar Seungcheol hingga jatuh terduduk di sofa.
“Jadi...sekarang gimana?”
Vernon berpikir sejenak, kemudian mengambil keputusan. “Ya sudah. Kita pulang aja, anak-anak. Job kalian sudah beres juga kok di sini,” jelasnya. “Kalian balik ke kamar dan packing koper kalian ya. Saya coba cek dulu adanya flight jam berapa.”
“Mmm...”
“Nggak apa-apa, Jihoon. Saya temenin Minghao,” si Om mencoba menenangkan mereka semua. “Ayo sana.”
Tak memiliki bantahan apapun di ujung lidahnya, Jihoon, Wonwoo dan Seungcheol menurut. Barulah, ketika pintu ditutup, mereka mendengarnya.
Lolongan pilu menyayat hati.
Tanpa sadar, Wonwoo menggamit tangan Seungcheol.
Resah.