167.

#soonwoo

Seperti di kuliah, Jeon Wonwoo di rumah sama efisien dan praktisnya. Begitu masuk tadi, Soonyoung tak bisa menahan diri untuk tidak mempelajari isi rumah Jeon Wonwoo. Tembok bercat putih. Lantai tanpa karpet apapun. Sederhana...tidak, lebih tepatnya, kosong. Hampir tidak ada furnitur besar seperti di rumahnya sendiri. Tidak ada almari. Tidak ada buffet, rak, bahkan meja makan... Dan, jelas, tidak ada sofa. Hanya ada televisi kecil yang seharusnya sudah masuk museum saking kunonya.

Rumah Jeon Wonwoo tidak seperti rumah, melainkan bangunan tembok, lantai dan atap untuk berteduh. Tak ada sentuhan personal penuh memori akan keberadaan seseorang di sana selama berpuluh tahun. Tidak ada foto. Tidak ada tanaman hias di kusen jendela. Tidak ada tumpukan buku maupun raknya. Seperti rumah contoh yang buruk.

Rumah yang dingin, bahkan untuk ukuran seorang Kwon Soonyoung.

Ia mengikuti suara gaduh di salah satu ruangan, yang ternyata adalah dapur. Jeon Wonwoo menginstruksikan tugas tamu-tamunya di sana. Anak lelaki tinggi besar yang dipanggil Mingyu bertanggung jawab membakar daging steak (yang, Soonyoung lirik, harganya sepak isi 5 potong tidak sampai 100 ribu aka daging murah meriah). Jeonghan menempati bak cuci, mencuci sayuran yang ia dan Mingyu bawa (berupa selada keriting, ketimun, tomat, bawang bombai, paprika kuning dan paprika merah).

Jeon Wonwoo sendiri mengeset kompor sebagai kerajaannya. Sebuah panci merebus mie (atau pasta?) dan di sebelahnya, ada wajan dengan saus kental bergelembung. Baunya bau daging barbeque. Pasti itu saus steaknya.

Hanya Soonyoung yang berdiri begitu saja di pintu dapur.

“Lo ngapain?” itu Jeon Wonwoo. “Sini, bantuin.”

“Eh, uh, gue...nggak bisa,” masak, tidak perlu dilanjutkan karena tanpa disebut, mereka toh akan menangkap maksud Soonyoung.

Mingyu mendengus geli, sedangkan Jeonghan meringis diam-diam. Jeon Wonwoo memandang Kwon Soonyoung dengan bosan. “Nggak peduli lo bisa masak ato enggak, semua yang makan di sini harus kerja dulu, baru dapet makan. Kerjain apa kek,” ia memutar kepalanya, mencari sesuatu yang bisa dilakukan si anak Kwon. “Tuh.” Dagunya mengarah ke alat masak di sudut konter dapur. “Bikin nasi sana. Biar kata gue bakal goreng kentang, si Gyu palingan nambah nasi.”

“Bener,” aku si anak yang dipanggil namanya sambil terkekeh. “Pake saos buatan Bang Won sama nasi aja udah enak.”

“Makin gendut,” seloroh Wonwoo.

“Ih, Gyu nggak gendut!” ☹️

“Nggak gendut, cuma bagong.” 😐

“BANG WON JAHAT!” ☹️

“Heeii, jangan digangguin mulu napa cowok gue,” decak Jeonghan pada Wonwoo.

“KAK HAN, GYU NGGAK GENDUT KAN??” ☹️

Manja, sambil lengan memeluk pinggang dan muka disusrukkan ke bahu pacarnya. Jeonghan ketawa. Dielus-elusnya kepala Mingyu. Wonwoo hanya memutar bola mata melihat PDA pasangan itu. Udah biasa sih, wong pacarannya mereka selalu numpang rumah Wonwoo, tapi yang namanya PDA selalu nggak enak dilihat, apalagi sengaja banget depan jomblo macam Wonwoo. Brengsek emang 🙄

“Nggak gendut, cuma bagong~” ringis Jeonghan jahil.

“Kak...” 🥺💕

“Bentar, bedanya apa ya, sama omongan gue tadi?” Wonwoo tidak habis pikir...dasar bucin, semua jadi bego karena c-i-n-t-a 😑

“Mau Gyu bagong kek, gendut kek, Hani tetep sayang. Makanya, Gyu nggak usah ngambek ya?” senyuman yang diberikan Jeonghan membuat hati Mingyu tertusuk panah asmara lagi 🥺💘 Atuhlah, kalo demi Jeonghan, Mingyu rela ketusuk beribu kali pun. Berdarah-darah, nggak pa-pa.

Refleks, anak yang lebih besar itu menyusrukkan kepala melewati bahu Jeonghan untuk menempelkan bibir mereka. Dengan tangan Jeonghan di belakang kepala Mingyu, ia bisa dengan leluasa melekatkan lagi bibir mereka dalam ciuman yang lebih mesra. Wonwoo yang sudah terbiasa cuma menghela napas, lalu, entah kenapa, menengok ke arah anak Kwon.

Muka anak itu merah padam.

“Nggak usah bengong. Sana masak nasi.”

“Eh-ah-itu-”

“Kenapa? Lo nggak nyaman?” benar juga. Wonwoo tidak tahu preferensi seksual anak Kwon apa, atau apakah dia merasa risih atau tidak. Tapi, mengingat Joshua-Joshua itu pacaran sama Bang Cheol, harusnya sih itu bukan masalah ya.

Benar saja. Kwon Soonyoung menggeleng cepat. “B-bukan, emm, kaget aja...sih...,” masih merona pipinya, ia pun menunduk. Yah, kalau karena itu sih, Wonwoo tidak bisa menyalahkannya. Siapapun juga pasti kaget tiba-tiba ada yang ciuman di depan mata kepala sendiri, soalnya ciuman bibir depan publik bukan budaya orang Timur. Budaya orang Timur mah falling in love with people we cannot have.

Cakep. Sekarang berhenti main Twitter, Kisanak.

“Ya udah, anggep aja liat kucing kawin,” pinter banget perumpamaannya, Won, minta dicubit. “Sana masak nasi. Buru.”

“Mmm...gimana?”

Duh, Gusti nu Agung...