152.
Dia tidak kembali ke kamar si Om malam itu.
Sempoyongan karena menghabiskan sebotol besar Dom Perignon (hampir) sendirian, Vernon membopongnya menuju lantai kamar mereka. Di lorong yang sunyi, ia berbisik pada Joshua, bertanya apakah masih ingin menemaninya malam ini, namun Joshua hanya tertawa.
Ia mengecup pipi Vernon, lalu masuk ngeloyor ke sebuah kamar.
Kamar Minghao.
Vernon menghela napas, menaikkan bahu, lalu masuk ke kamarnya sendiri sambil mengecek rentet pesan whatsapp dari Chan dengan senyuman lebar.
. . .
Kamar Minghao gelap. Sinar hanya datang dari sedikit celah antara tirai. Sengaja mereka bertukaran spare part kunci kartu mereka berdua, sehingga yang satu bisa bebas masuk ke kamar yang lainnya. Doyong, dalam keadaan mabuk berat, Joshua melangkah, hampir jatuh berkali-kali. Sampai, akhirnya, ia mencapai kamar tidur Minghao.
Kekasihnya itu tidur pulas seakan tanpa beban di salah satu sisi tempat tidur, menyisakan sisi satunya dingin dan kosong. Bahkan dalam tidur, lelaki itu sungguh apik. Tidak bergerak. Andai dada di balik selimutnya tidak bergerak naik-turun, ia pasti mengira Minghao sudah tak bernyawa saking diamnya.
Satu lutut Joshua naik ke kasur, menekan matras tersebut. Ia perlahan mendekati Minghao, berencana memeluknya.
Tetapi, tiba-tiba saja, Minghao berbalik. Matanya setengah terbuka dalam kantuk. Lengannya refleks membuka untuk meraup Joshua ke dalam pelukannya.
”..ng...udah pulang, Sayang...?” erangnya, separuh sadar. Joshua membelalak. Kepalanya dipeluk erat ke dada Minghao, membuat Joshua mampu menghirup aroma khas Minghao hingga menyelusup melalui rongga hidungnya, memenuhi seluruh bagian dalam batok kepalanya. Bahkan di antara kabut alkohol, ia bisa memetakan aroma itu.
Aroma Minghao yang hangat dan lembut...
Dengkuran pelan memberitahunya kalau Minghao telah tertidur lagi. Joshua, perlahan tapi pasti, memejamkan mata. Tangannya merenggut lengan piyama Minghao. Ada rona, mekar indah di pipinya.
Dan ia pun ikut tertidur bersama kekasihnya dengan hati yang berbunga-bunga.