15.

#soonwoo

“Spada~“

Karena tau Mingyu mau dateng, Wonwoo sengaja nggak ngunci pintu depan. Dia sendiri lagi berkutat di dapur. Dua daging sirloin murah meriah dia taburin garam dan lada hitam, terus dia biarin di atas talenan biar nyerap. Wonwoo lagi ngubrek boks sayur, nyari bayam buat ditumis sebagai pelengkap, pas Mingyu masuk.

“Baangg??”

“Dapur, dapur!”

Bunyi tapak kaki makin keras terdengar. Dua pasang tapak kaki.

“Bang Won~“

Wonwoo berbalik, terus diem.

“Lho?” ditelengkannya kepala. “Pacar lo ganti lagi?”

Mingyu keselek. “BANG! PARAH LO!” gugup, anak kelas 3 SMA itu celingak-celinguk salting dari Wonwoo ke pacarnya. “Emm, sori ya, Kak, itu cerita lama kok. Gyu udah lama nggak ke sini jadi Bang Wonu nggak tau. Serius, Kak, Gyu bukan playboy kok...”

Pacarnya Mingyu hanya tersenyum. Manis. Manis banget. Beda banget sama pacarnya sebelum ini yang kayak kanebo kering. “Nggak apa sih, Gyu. Lo beneran playboy juga gue nggak masalah. Asal, selama sama gue, jangan selingkuh,” dikedipkannya sebelah mata, bikin Mingyu memerah pipinya.

Wonwoo berasa mual ih 🤢🤢🤢

Mingyu menangkap paras pucatnya. “Napa, Bang?” tanyanya, cemas.

“Ng-nggak, gue cuma alergi bucin...” 🤢🤢🤢

“Sialan.”

Pacarnya Mingyu ketawa. Dia ngulurin tangannya ke Wonwoo. “Sori ya jadi pamer kebucinan gini. Kenalin, gue Jeonghan,” ucapnya.

“Wonwoo,” uluran tangan itu ia jabat.

“Sekuliah sama lo, Bang,” info Mingyu.

“Oh ya?”

Jeonghan mengangguk. “Tingkat tiga,” kekehnya. “Udah tua.”

“Hah, di atas gue setahun,” Wonwoo asli kaget. Dia noleh ke Mingyu. “...Lo jadi brondong simpenan dong nih?”

“BANG, ISTIGHFAR NAPA?? PARAH LO!”

Jeonghan tertawa makin kencang melihat itu semua. Dengan suasana seperti itulah, mereka menyelesaikan proses membuat makan malam. Wonwoo menyajikan dua piring sirloin steak saus jamur dengan pelengkap tumis bayam pakai bawang putih. Mingyu mengambil tiga piring nasi putih (steaknya akan dibagi bersama Jeonghan karena dia tahu, Wonwoo selalu bersungguh-sungguh terhadap perkataannya). Jeonghan membantu menyiapkan gelas air minum dengan instruksi dari Mingyu.

Tidak lama, mereka pun sudah duduk lesehan, makan sambil mengobrol. Wonwoo tidak punya sofa atau meja makan. Semua sudah dijual. Furnitur di rumahnya memang minimalis, bisa dihitung pakai jari.

Wonwoo dan Mingyu tinggal di kompleks perumahan biasa saja. Rumah mereka tidak besar. Mingyu tinggal bersama ayah, ibu dan adik perempuannya, sedangkan Wonwoo tinggal sendirian. Rumah itu miliknya dan ayahnya, yang entah pergi ke mana. Sudah berapa tahun Wonwoo tidak melihatnya? Entahlah. Dia juga tidak terlalu peduli akan semua itu. Karena itulah, Mingyu sering kabur ke rumah tetangganya yang lebih tua itu. Baginya, rumah itu kelewat sesak.

Mereka makan sampai piring licin tandas (Mingyu menambah nasi karena lauknya sebagian besar ia berikan pada pacarnya). Jeonghan menawarkan untuk mencuci piring, tapi Mingyu langsung mengambil alih. Jeonghan menemukan dirinya duduk di samping Wonwoo yang lagi meneguk air putih sambil menonton berita sore di televisi kecilnya.

“Udah lama temenan sama Gyu?” basa-basi.

“Pas gue umur 10, dia pindah ke sebelah. Dari situ, tetanggaan terus,” jelas Wonwoo. Jeonghan hanya mengangguk. “Udah lama pacaran sama Gyu?” Giliran dia balik bertanya.

“Baru. Sebulan apa ya. Apa tiga minggu? Yah gitulah,” alisnya mengerut, mencoba mengingat-ingat.

“Ooh...”

Hening.

“Bang, bang!” Mingyu yang menghancurkan keheningan itu. Selesai mencuci piring, dikeluarkannya buah tangan yang sengaja ia sembunyikan di dalam kulkas Wonwoo. Sepak bir berisikan enam kaleng. Sudah dingin.

Wonwoo bertukar ringisan dengan Mingyu.

“Tumben lu pinter.”