148.
Tok, tok!
“Room service!”
“Siapa yang mesen?” Jihoon mendelik ke ketiga orang membernya. Ketiganya menggelengkan kepala.
“Salah kamar kali.”
“Bukain lah, Hoon.”
Jihoon menghela napas, lalu beranjak. Mereka sedang berkumpul di kamar Jihoon, menikmati makan malam bareng. Setelah kenyang, mereka menguasai sofa dan menonton netflix yang tersambung ke televisi hotelnya. Lagi seru-serunya menonton Park Saeroyi menata ulang kedai minumannya sesuai arahan manajer barunya, ketika ketukan itu terdengar.
“Sori, we didn't order—”
Ucapannya terhenti.
“Surprise~“
“Tua bangka.”
“Aduh, Hoon. Sakitnya tuh di sini,” si Om menggamit bagian dadanya, walau sambil ketawa.
“Siapa, Hoon—” Joshua mengintip dari balik punggung Jihoon. Seketika, raut wajahnya berubah. “—Vernon!”
Menabrak Jihoon sampai ia terdorong minggir, Joshua menghambur memeluk CEO-nya, yang dengan senang hati memeluknya balik.
“Hey, my sweet little Joshua. How's your day?” tawanya lepas.
“Boring. Why're you here??”
“I'm here to see you, pretty baby,” dicubitnya pelan dagu Joshua, membuat anak didiknya itu mengulum bibir, tersipu-sipu. “Oh? You become prettier now? It makes me wanna kiss you!” Lalu, kepala si Om maju hingga ia bisa berbisik rendah di telinga Joshua. “Being in love changed you this much, huh? Lucky bastard.”
Joshua mendorong si Om, memukul bahunya perlahan. Si Om ketawa makin lebar sampai geligi putihnya nampak saat dilihatnya muka Joshua kian memerah.
“Om,” di ambang pintu, Minghao menundukkan kepala. Diam-diam, tangannya terkepal, menonton kemesraan antara si Om dengan kekasihnya.
“Oh, Hao!” dilambaikannya satu tangan, sementara tangan lain merangkul pinggang Joshua. “Sehat?”
Minghao mengangguk.
Koreksi. Dengan orang yang seharusnya adalah kekasihnya.
Tapi Joshua bergeming, tidak protes, tidak pula merasa risih dipeluk orang yang bukan kekasihnya. Granted, Joshua masuk ke agensi lebih dulu dari dia dan Wonwoo, persis setelah Jihoon. Dia kenal si Om jauh lebih lama dari Minghao.
Tapi...
“Mana Won?”
“Di dalem.”
“Om bawa kado nih buat dia,” as if on cue, Seungcheol memunculkan mukanya dari balik pilar di dekat mereka.
==
Bunyi pintu menutup, lalu suara langkah kaki. Wonwoo menguap. Episode yang mereka tonton sudah mencapai bagian akhir. Sebentar lagi lagu dan preview minggu depan akan muncul. Tangannya sibuk meraba permukaan sofa, mencari remote control.
“Siapa yang dateng, Bang?” tanyanya pada empunya langkah kaki tanpa melihatnya.
Ia turun ke lantai dan menungging, menemukan remote tersebut di bawah sofa, ketika suara asing mengejutkannya tiba-tiba.
“Wonwoo.”
Bola mata Wonwoo melebar.
Segera, ia mengalihkan fokus, memelantingkan kepala dan beranjak dari posisi nungging untuk mengecek apakah telinganya salah tangkap atau ia terlalu halu hingga merasa mendengar suara lelaki itu.
Alangkah kagetnya dia ketika Seungcheol memang berada di sana, berdiri di tengah-tengah kamar Jihoon, dengan senyuman ragu dan wajah agak letih.
“Hei..”
Jantung Wonwoo bagai meluncur, terjun bebas, ke dasar perutnya. Sesaat, ia lupa bernapas. Seungcheol benar-benar berada di sini, di Jepang. Di hadapannya.
Perlahan, Wonwoo berdiri. Lidah masih kelu, tak sanggup berkata-kata. Dengan gontai, ia berjalan mendekati Seungcheol.
“Ah....s-sori, gue mendadak ada di sini. Gue juga nggak tau kalo bakal diboyong langsung ke kalian gi-”
Sebuah sentuhan menghentikannya. Tangan Wonwoo menyentuh ujung kemeja Seungcheol, menariknya lemah. Hanya itu. Hanya sebuah gestur kecil tak berarti. Mata Seungcheol melekat ke tangan itu, lalu berpindah ke wajah Wonwoo.
Ia tak bisa melihat dengan jelas, karena Wonwoo menunduk hingga poninya menutupi separuh wajahnya. Tetapi, bibir bawah lelaki itu terkulum, dan tangan yang menarik ujung kemejanya agak gemetar.
Itu semua sudah cukup bagi Seungcheol untuk tersenyum lembut, memajukan kepalanya sedikit sampai ia bisa berbisik ke telinga Wonwoo,
”....Kangen kamu...”
Dan, bila telinga Wonwoo memerah, ia pura-pura tidak melihatnya.