147.

#soonwoo

“Kwon Soonyoung.“

“Jeon Wonwoo.”

Jihoon memutar bola mata. “Halo,” selorohnya, sementara Wonwoo membeku di sebelahnya ketika Soonyoung, yang pura-pura melihat barang di rak supermarket menoleh dan melebarkan bola matanya seolah kaget melihat kedatangan mereka berdua. Jihoon menahan diri supaya tidak tertawa terpingkal-pingkal di tempat, alih-alih dia mengangkat sebelah tangan dengan santai untuk menyapa.

Ia kemudian mendorong keranjang belanja mendekati Soonyoung, menyeret Wonwoo agar bergerak bersamanya. “Sendirian lo? Lagi belanja?” sebuah pertanyaan lumrah bagi dua orang yang saling mengenal saat bertemu di luar tanpa sengaja, namun Kwon Soonyoung jelas bukan tipe yang terbiasa dengan kejadian semacam itu.

“Eh, eng, iya, hehe hehe,” dia malah salting, bikin Jihoon pingin lindas kakinya pake roda keranjang belanja. “Uh, mm, be-belanja, iya, emm, gue pergi belanja...iya...”

Wonwoo memicingkan mata, membuat Soonyoung makin menunduk serba salah. Diam-diam diteguknya ludah, merasa yakin Jeon Wonwoo tidak semudah itu untuk dibegoin. Dia pasti udah bisa nyium busuknya akting Soonyoung. Terus dia bakal marah sama Soonyoung. Terus digebuk lagi Soonyoung—

“Elo? Belanja?”

Soonyoung mendadak menarik napas ketika Jeon Wonwoo bertanya (lebih kayak tuduhan, jujur aja).

“Lo kan nggak pernah belanja.”

Jihoon mulai agak panik. Dia nggak tahu soal itu. Dia pun memandang Wonwoo, lalu beralih ke Soonyoung.

“Emm, i-iya, gue enggak pernah...m-m-makanya mau c-coba, emm...,” Jihoon melihat bagaimana Kwon Soonyoung memainkan bagian bawah kausnya, tanda nyata kalau anak itu makin gugup. “Karena gue nggak pernah, makanya gue lagi b-belanja, nyoba...”

Soonyoung kemudian bungkam, tidak tahu harus bilang apa lagi. Jihoon juga jadi bungkam. Apalagi Wonwoo.

Kemudian, Wonwoo bergumam, “Oh. Oke,” hanya itu. “Gue sama Uji juga lagi belanja. Kemon, Ji.”

Wonwoo maju, hendak meninggalkan Kwon Soonyoung karena, terus terang, dia peduli setan akan apa yang anak Kwon itu lakukan. Bukan urusannya. Mau jungkir balik sambil telanjang di kasir kek, ya terserah. Yang penting, dia nggak ganggu sesi belanja Jihoon dan Wonwoo. Lagian, ngapain sih Uji ngajak-ngajak segala, emangnya nggak bisa apa belanja sendirian—

--wait.

“Lo ikut kita aja ya, biar ramean. Bosen gue ditemenin si Wonu doang, berasa belanja sama ubin mesjid.”

Kalimat itu sukses membuat Wonwoo balik badan, emosi agak naik dan bersiap menanyakan ke Jihoon apa dia waras sampai mengajak anak Kwon belanja bareng (dan mengingatkan bahwa Jihoon yang meminta Wonwoo menemaninya belanja, bukan sebaliknya), tapi temannya itu bisa lebih menakutkan ketika dia mau. Sengaja, Jihoon berdiri di depan Soonyoung yang menunduk kebingungan dengan paras menantang.

Lee Jihoon tidak diciptakan untuk menuruti seluruh keinginan Jeon Wonwoo. Mereka berempat tahu itu.

Maka, Wonwoo mengerutkan alis sebagai tanda tidak setuju, tetapi kemudian menghela napas dan menggeleng, sebelum berbalik dan terus berjalan. Udah males kalau begini ceritanya.

Masa bego lah, terserah maunya dua anak itu aja. Pake pura-pura ketemu nggak sengaja pula.

Jihoon mendengus, membusungkan dada sedikit, merasa udah menang dari kebatuan kepala Wonwoo. Ia menoleh ke arah Soonyoung untuk memamerkan senyuman, meski anak itu jelas tidak bisa membalas dengan senyuman juga. Jihoon merangkul bahunya. “Dah, nggak pa-pa,” bisiknya pelan. “Lo jangan takut sama Wonu. Dia itu bisa dikontrol kok.”

“Eh?”

Tapi Soonyoung keburu diseret Jihoon mengikuti Wonwoo dari belakang sebelum bisa bertanya lebih lanjut.