147.

#woncheolidol

Capek banget, ya Gusti...

Seungcheol merutuk dalam batin. Pagi buta ia dibangunkan untuk boarding, untungnya pakai direct flight, jadi langsung mendarat di Haneda sore harinya. Makanan pesawatnya enak. Kursinya luas. Selimut dan headphone diberi pinjam cuma-cuma, yang sangat membantunya dalam menghabiskan waktu di pesawat.

Andai saja orang di sampingnya bukan si bapak CEO agensi Hit.

Si Om cuma tidur sih, ngorok. Nggak aneh-aneh macam grepein Seungcheol seperti dugaan sebelumnya. Tapi ya tetep aja, di sebelah orang asing yang pernah bikin dia ketakutan karena hampir dibawa buat menghadap perkara fic mesum Wonhao buatannya, gimana lah Seungcheol bisa nikmatin jalan-jalannya?

Yang ada mah dia kudu duduk kaku kayak kanebo kering. Garing.

Untungnya setelah mendarat, banyak yang harus mereka lakuin. Mulai dari ngantre di migrasi (skip ambil koper di ban berjalan karena koper si Om bisa dibawa ke kabin) sampai mengejar kereta bandara menuju stasiun tengah kota.

Semua serba cepat di sini. Turun di stasiun, berganti kereta, lalu turun lagi di stasiun berikutnya, Seungcheol hampir terdorong oleh para penduduk yang berjalan bagai terburu-buru. Mereka semua seolah mengejar sesuatu, entah apa. Di Indonesia mah kalau jam pulang, banyak yang berjalan santai. Di sini, semua bergegas dalam langkah tegas.

Mungkin mereka laper ya. Seungcheol juga laper. Terakhir dia makan ya pas dikasih makan siang di pesawat, setelah itu cuma diisi minuman kaleng dari vending machine.

Gruukk...

Tuh, perutnya bunyi.

“Laper ya?” si Om meringis. Seungcheol pun mengangguk. Si Om memandang arlojinya. “Sebenernya dari sini ke hotel anak-anak deket sih, tapi nggak apa lah. Kita makan dulu aja yuk. Mau makan di stasiun apa cari makan di atas?”

“Mana aja boleh, Om,” ya mana dia tau, anjrit, ini pertama kalinya Seungcheol pergi ke Jepang. Pertama kalinya pergi ke luar negeri, malah.

“Bentar, saya cek dulu,” si Om meneliti Google Map di layar hapenya. “Oh ada family restaurant deket sini. Ya udah kita makan di atas aja.” Ia mulai berjalan menggeret kopernya. “Lewat sini, Seungcheol.”

==

Family restaurant rupanya restoran dengan menu macam-macam, baik ala Barat maupun ala Jepang. Banyak banget pilihan makanannya. Pusing.

“Beef rib steak with deep fried prawn, hitotsu...”

“Halal nggak, Om?”

Si Om mendengus geli. “Ya sapi sih, tapi kalo mau nggak pake alkohol, saya nggak tau nih masaknya gimana,” akunya.

“Nggak apa-apa deh. Saya juga mau itu, Om.”

“Futatsu, onegaishimasu.”

Selesai memesan, si Om menenggak gelas bir dinginnya. “Ahhh...,” ia mendesah puas. “Seungcheol nggak minum? Pesen aja, pesen.”

Yang ditanya pun menggeleng. “Nggak bisa minum, Om, nggak doyan,” dia meneguk es teh daun mint-nya.

“Wah. Kalah sama Joshua dan Wonu dong kamu. Mereka jago minum,” kekeh si Om.

“Nggak apa-apa kalah juga,” nggak ngerti pentingnya menang di soal beginian jugaan.

“Abis kelar makan ini, kita jalan kaki aja ke hotel mereka ya. Deket kok. Jam segini harusnya job mereka udah kelar dan lagi jam bebas. Moga-moga ada yang tinggal, nggak ngelayap.”

Seungcheol mengangguk.

“Oh ya, Om cuma pesen satu kamar. Kamarnya abis, soalnya ini weekend.”

BUUHH!!

Es tehnya muncrat keluar dah. Si Om mah ngakak puas banget nontonin reaksi Seungcheol.

“Tenang, Cheol. Anak-anak dapet kamar masing-masing,” bulu mata si Om bergerak naik turun. “Mungkin Seungcheol mau temu kangen sama pacar...”

“Dibilangin saya bukan pacar—”

“Belom,” telunjuk si Om teracung, langsung membungkam mulut Seungcheol. “Sini Om kasih tau ya. Wonwoo naksir kamu lho.”

Pipi Seungcheol pun memerah. “Nggak boleh boong ah, Om, dosa...,” gumaman pelan.

“Lho, yang bohong siapa? Wonwoo whatsapp Om, nanya boleh nggak pacaran sama kamu,” diteguknya lagi birnya, sementara bola mata Seungcheol melebar.

“Anak itu belom pernah pacaran. Iri kayaknya liat temen-temennya pada pacaran. Oh ya, kamu tau kan ya soal Shua sama Hao?”

Ia mengangguk. Pikirannya masih penuh dengan 'Wonwoo nanya boleh nggak pacaran sama kamu', diulang-ulang terus di kepala.

“Jadi nanti kamu sekamar aja sama Wonwoo. Ajarin lah tuh anak. Dia akhir-akhir ini suka ngambek dan marah-marah. Mungkin udah saatnya dia dikasih jatah, biar tenangan sedikit.” Gelak tawa menyusul kemudian, tapi bukan dari Seungcheol.

“Emang boleh, Om?”

Pelayan datang membawakan makanan mereka.

“Apa tuh?”

“Pacaran. Saya sama Won.”

“Ya bolehlah, kenapa enggak?”

Jantung Seungcheol berdebar kencang.

“Tapi,” lanjut si Om. “Kamu harus berhenti jadi fansitenim dan fans Hit.”