13.
Begitu pintu ia buka, ada lengan-lengan kuat yang langsung meraih pinggangnya. Ada bibir yang lekat menempel di bibirnya. Ada tubuh yang mendorongnya kembali ke kamar, membiarkan pintunya menutup sendiri. Dan, kemudian, lengan-lengan itu mengangkatnya ke dalam gendongan. Refleks, Joshua melingkari lengannya sendiri ke leher dan kakinya ke pinggul Wonwoo.
“Maaf, maafin aku...,” bagai mantra, diucapkannya berkali-kali. Di antara setiap ciuman, setiap napas yang dibagikan. “Aku sayang kamu...”
Wonwoo mencium setiap jengkal kulit Joshua. Menghidu, mengecup lembut, mengucapkan maaf dan ungkapan cinta, juga permohonan. Permohonan agar Joshua tidak meninggalkannya, agar Joshua sudi memaafkannya. Agar Joshua kembali padanya karena ia tak bisa hidup tanpa separuh hatinya.
Bohong jika Joshua bilang ia tidak tersentuh melihat kondisi suaminya. Mereka berciuman lama sampai tak sadar kalau Joshua sudah merebah di tempat tidur. Namun, Wonwoo tidak melakukan lebih dari mencumbunya. Ia bahkan tidak meninggalkan jejak pada kulitnya, walau Joshua tahu suaminya yang posesif sangat suka menandainya, baik dengan mulut maupun gigi.
“Kamu minta maaf mulu...sadar nggak kamu salahnya di mana?” Joshua menelengkan kepala, membiarkan Wonwoo menciumi lehernya.
“Aku...nggak tau,” ia mundur, menjauh, supaya mampu menatap mata suaminya. Dengan jujur, ia mengakui. “Aku mikir dan mikir dan aku nemu beberapa hal. Apa karena aku kalau abis makan sering nggak cuci piring sendiri? Atau karena aku suka nggak bisa diem kakinya kalau kita duduk bareng? Aku janji bakal rubah semua itu. Aku nggak tau tepatnya kenapa, tapi aku janji bakal berubah demi kamu, asal kamu mau kembali ke aku...”
Joshua menghela napas. Bego, batinnya.
“Won...,” dia mengelus wajah suaminya. Jeon Wonwoo adalah epitome klasik dari ganteng-ganteng bego. Memang bukan hal yang baru, mengingat lelaki itu tidak menyadari cinta Joshua padanya sejak mereka menginjak bangku SMP. “Kamu sayang sama aku?”
Anggukan tanpa keraguan.
“Yakin?”
“Aku cinta,” Wonwoo menjawabnya cepat. “Aku cinta sama kamu.” Dikecupnya pipi Joshua. “Sayang kamu.” Kening. “Need you.” Ujung hidung. “Craving you...”
“Really?”
“Really,” Wonwoo memagut bibir bawah Joshua, membuat suaminya mendesah.
“Then why do I feel like you only used me as your sex doll?”
Terperanjat. Mata Wonwoo melebar. Refleks, tubuhnya menjauh dari Joshua, memandanginya penuh heran. Setelah lima menit dalam keheningan, Wonwoo mengeluarkan satu kata.
”....Hah?”
Tidak paham apa yang Joshua bicarakan. Anehnya, reaksi Wonwoo malah membuat Joshua kesal.
“Kamu nyadar nggak sih? Kamu tuh ya kalo udah kepengen, nggak peduli aku lagi ngapain, kamu nyuruh cepetan. Aku lagi nyuci, lagi bebenah, lagi kerja pun, mana kamu peduli. Aku capek abis pulang kantor pun kamu juga mana peduli itu semua. Itu juga kamu minta ke aku hampir setiap hari. Pokoknya kalo kamu manggil, aku harus dateng. Berasa pelacur tau nggak?” rentetan omelan pun keluar, seraya mendorong Wonwoo dan beranjak dari tempat tidur menuju beranda. Ia memang memesan suite, alih-alih kamar biasa, di Mandarin agar lebih privat dan nyaman. “Mending kalo aku puas juga. Ini apa? Pas aku masih kepengen, kamu udahan, terus tidur ato mandi, nggak peduli aku puas ato enggak. Nggak sekalian aja kamu lempar duit ke aku abis aku dipake?? Seenggaknya aku ngerasa ada harganya sedikit.”
Kalimat terakhir Joshua menusuk hati Wonwoo. Dia tidak berpikir ketika meraup pinggul Joshua dari belakang, memeluknya erat, hampir-hampir putus asa. Ketika suaminya berbisik di telinganya, suara berat dan parau oleh kesedihan, Joshua bergidik.
”...Kenapa kamu bisa mikir begitu?” kekecewaannya begitu dalam. “Aku nggak pernah sekali pun mikir kamu kayak begitu. Kamu suami aku. Jantung hatiku. Yang paling berharga buat aku. Aku rela mati demi kamu, Sayang...Tolong jangan bilang begitu...”
Joshua menggigit bibir bawahnya, mati-matian menahan tangis.
“Maafin aku...aku nggak sadar kalo aku udah buat kamu merasa begitu...,” Wonwoo menggamit tangan Joshua, membawanya ke bibir untuk mengecup lembut punggung tangannya. Kecupan kemudian beranjak ke sisi kening Joshua, tidak kalah lembutnya. “Aku nggak berniat bikin kamu ngerasa begitu...maafin aku...aku salah, aku udah buat salah sama kamu, maafin aku..”
Wonwoo membenamkan wajahnya ke ceruk leher Joshua. Ada basah terasa. Joshua menelan ludah saat menyadari Wonwoo menangis.
“Kenapa, Won...? Kenapa kamu gituin aku?” isaknya. Air mata Joshua pun tidak bisa dibendung lagi. “Kalo kamu cinta sama aku, kenapa kamu nggak peduli soal aku?”
Wonwoo semakin panik. “Sayang, Sayangku, maafin aku. Aku khilaf. Aku lalai. Aku nggak akan pernah abaikan kamu lagi. Aku janji nggak akan lakuin lagi. Apapun,” Wonwoo menciumi wajahnya. Kepalanya. Dalam isak tangis, ia memohon ampun pada suaminya. Pada ia, yang menjadi alasannya bangun tiap pagi dan pulang tiap malam. Alasannya tetap hidup dari hari ke hari. “Apapun yang kamu mau, aku bakal kasih, Sayang...but please, Joshua...
...come back to me...”
He breathed that last line in utter despair.
“Aku bakal mati kalo nggak ada kamu, Josh...”
Joshua tersedak. Ia menangis sejadi-jadinya bersama Wonwoo, dalam pelukan suaminya. Ini bukan soal seks semata. Bukan pula kesalahpahaman yang remeh. Ini masalah saling menghargai dalam kehidupan rumah tangga. Wonwoo mungkin sempat lupa bahwa menikahi Joshua bukan artinya Joshua tidak lagi berhak untuk dipuja dan diperlakukan bak raja. Justru harusnya ia makin menjaga agar Joshua selalu merasa dihargai, dicintai. Dia mengutuk dirinya sendiri yang sudah membuat suaminya, orang yang sudah ia janjikan akan ia bahagiakan sepanjang hidupnya di depan Tuhan, menangis.
“Dan aku...mau ngaku dosa ke kamu,” Wonwoo mengecup pipi Joshua, merasakan asin air mata di sana. “Alasan kenapa aku minta ke kamu hampir tiap hari...”
Joshua diam saja, tapi Wonwoo tahu ia sedang mendengarkan. Diambilnya handphone dari saku celana, disentuh layarnya sebentar, lalu ia perlihatkan pada Joshua.