110.

#soonwoo

Pas Wonwoo tiba, wajahnya masam, berkebalikan 180 derajat dengan ekspresi Soonyoung yang tersenyum ceria sampai geliginya kelihatan. Senyum yang seketika lenyap saat ia menatap wajah berkacamata itu.

“Mm...,” Soonyoung mengulum bibir bawahnya, bingung harus berkata apa. Jeon Wonwoo tampak marah padanya. Lagi-lagi Soonyoung melakukan kesalahan. Ia pun menunduk, memperhatikan tangan-tangannya sendiri seolah mereka benda paling menarik seantero jagat raya, dengan keresahan menggeliat dalam dada.

Kenapa dirinya selalu saja membuat runyam sesuatu? Tak bisakah ia melakukan sesuatu dengan benar sekali saja dalam hidupnya? Tak bisakah—

Blugh!

Kaget, ia cepat mendongak. Jeon Wonwoo terduduk kini, tepat di seberang Soonyoung. Tas ranselnya ditaruh di bangku sebelahnya. Ia duduk bersandar. Satu kaki menumpang di lutut satunya, sementara kedua lengan melipat di dada. Pongah.

“Oke. Lo mau apa?” tantangnya pada anak Kwon. Di sekeliling mereka, riuh rendah mahasiswa mengobrol dan bertukar canda, tidak awas sama sekali akan ketegangan yang terjadi di meja dekat mereka.

Namun, ancaman Wonwoo adalah ancaman kosong, karena Soonyoung malah menelengkan kepala dengan paras kebingungan.

“Emm. Gue udah pesen kok...?” dibukanya tangan, mengalihkan fokus Wonwoo ke beberapa porsi makanan di atas meja. Ada the so-called sushi geprek (wtf is that, really...), nasi warteg dengan berbagai lauk (menumpuk sampai atas njir), semangkuk sop kaki kambing minyak samin lengkap dengan nasi putih bertabur bawang goreng dan emping (kantin kampus sejak kapan punya makanan semahal ini anying siapa yang mampu beli??), martabak telor saus mentai kekinian, indomie goreng pakai telor, keju dan kornet, sampai roti bakar dengan seluruh kondimen yang bakal bikin was-was emak-emak yang sudah berumur.

Jeon Wonwoo mau tak mau mengerjap.

Sekali.

Dua kali.

”......Ini makanan lo?”

Soonyoung mengangguk.

Wonwoo menatap Soonyoung, lalu ke makanan, lalu balik lagi ke Soonyoung, lalu ke makanan. Ada kali tiga-empat ronde begitu terus sampai akhirnya dia bertanya, “Muat?”

“Apanya?”

“Perut lo.”

“Ha?” meneleng lagi, kepala itu. “Ya muat, kan perutnya ada dua?”

“Hah perut siapa dua?”

Soonyoung menunjuk dirinya, kemudian menunjuk Jeon Wonwoo.

”.......,” Wonwoo speechless.

“Gue beli buat dimakan berdua,” cengiran lebar Kwon Soonyoung menyusul kemudian. “Dimakan ya? Yang banyak. Kalo nggak abis, ntar dibungkus aja. Ini gue beli semua buat lo.”

Ada harga diri yang kembali tertoreh pasal mendengar kalimat barusan terlontar dari mulut Kwon.

BRAKKK!!

Hening. Satu kantin menoleh ke arah mereka setelah Wonwoo menggebrak meja.

“Heh, Bangsat,” ia mengangkat dagu. “Maksud lo apa?

'...Oke, lagi-lagi gue salah ngomong', batin Soonyoung. Rasanya ingin menghela napas menyaksikan semua akibat kebodohan dirinya, tapi, saat ini, dia harus menenangkan Jeon Wonwoo terlebih dahulu. Tapi, apa tepatnya yang bisa Kwon Soonyoung lakukan untuk meredakan naga yang terbangun?

Tidak ada.

Maka, ia mengambil jalan yang paling netral: tulus.

“Maaf,” di duduknya, ia menundukkan kepala. “Maafin gue. Gue harusnya nggak ngomong gitu. Nggak ada maksud apa-apa.” Jujur adalah jalan yang paling baik ketika kita tidak tahu harus berbuat apa lagi. “Gue cuma pengen kita makan bareng aja.”

“Lo pikir gue nggak bisa beli makanan gue sendiri?” tuduhnya.

Soonyoung pun menggeleng. “Nggak, gue nggak mikir gitu sama sekali. Maaf. Gue udah ngelakuin hal yang nggak perlu...,” dan anak itu menunduk lagi. Wonwoo pikir dia menangis, rupanya sama sekali tidak, hanya mengerutkan alis dalam-dalam, nampak menyesal.

Wonwoo cuma bisa merutuk dalam hati. Lagi-lagi, ingatan akan hutang biaya rumah sakit dan biaya sewa rumah pada Kwon Soonyoung menggantung di otaknya. Sesuatu yang membuatnya susah tidur nyenyak di malam hari. Otak terus bekerja mencari cara mendapatkan uang untuk membayar anak Kwon alih-alih menemaninya bermain rumah-rumahan sampai hutangnya lunas, tapi ia tidak menemukan dan selalu berakhir ketiduran, jatuh dalam mimpi yang buruk.

“Gue makan indomienya aja. Nih,” dia pun merogoh saku celana dan menaruh uang sepuluh ribu perak ke atas meja. “Nggak usah kembalian.” Wonwoo mendengus, mengambil piring berisi indomie goreng, telor, keju dan kornet, lalu mulai menyantapnya.

Kwon Soonyoung menatap selembar uang kertas yang lusuh tersebut.

Padahal harga internet keju seporsinya lima belas ribu...

Kwon Soonyoung tersenyum ceria, mengambil uang itu dan menatap balik Jeon Wonwoo, “Oke!”