104.

#minwonabo

Dua kantung kertas berisikan empat boks besar aneka kue segala rasa dan rupa menggelantung di kedua tangannya. Mingyu tadi memborong semua jenis kue di sana sampai ditertawakan kliennya. Dengan pipi merona dan suara terbata, ia menjawab, “Buat Omega saya, Pak, hehe...”

Kemudian, dengan gembira, kliennya yang juga seorang Alpha itu mulai menceritakan kenangannya mengejar Omeganya dahulu kala, yang sekarang telah menjadi istrinya. Mingyu manggut-manggut, merespon secara antusias, tidak lupa juga untuk meminta saran bagaimana mendekati Omega tanpa membuat mereka justru repulsif padanya.

Bisa dibilang, ketika ia mengantar kliennya ke lobi di mana mobil beserta supir telah menunggu, kontrak kerja baru yang akan menambah profit perusahaan (dan menambah bonus akhir tahunnya nanti) sudah ada dalam genggamannya. Hanya perlu penanda tanganan kontrak dan selesai. Ayahnya pasti puas mengetahui ini. Ia bisa istirahat. Bisa mengambil cuti panjang dua minggu. Hawaii terdengar menarik. Atau Maldives. Ibiza juga menyenangkan, penuh dengan gairah malam. Atau sekalian saja ke daerah yang tenang? Liechtenstein? Switzerland?

Ah, biar Wonwoo sajalah yang menentukan nanti.

Ketika Mingyu sampai di depan gerbang, ia merasa janggal. Aneh, batinnya. Gerbang nggak dikunci. Besinya membuat celah sedikit di tengah. Radar bahaya Mingyu kembali menyala. Alpha di dalam tubuhnya mulai bergerak gelisah. Ada orang lainkah di dalam...?

Mingyu menekan sensor pada gerbang. Ia merasa sedikit lega ketika gerbang itu membuka seperti biasa. Artinya, tak ada kerusakan yang berarti. Mungkin dianya saja yang terlalu jauh berpikir. Mungkin Wonwoo hanya lupa menutup gerbang.

Namun, masa hidup pemikiran tersebut sungguh pendek. Kejanggalan kedua adalah pintu depan yang juga terbuka. Sangat sedikit, tapi tetap saja tidak tertutup rapat. Oke. Gerbang terbuka. Pintu terbuka. Mungkin memang ada orang lain di sana. Ia mulai agak waspada. Sengaja, disembunyikannya baunya supaya bisa menangkap basah siapapun yang seenaknya sudah melanggar teritorinya.

Ada suara-suara. Telinganya berkedut menangkap suara samar-samar tersebut. Mingyu pun menaruh kantung-kantung kertasnya begitu saja di lantai sebelum bergegas menghampiri. Semakin jauh kakinya melangkah ke dalam rumah, suara-suara itu semakin lantang. Ia kemudian menyimpulkan bahwa sumber suara datang dari tingkat dua.

Tingkat dua.

Kamar Wonwoo.

Ya Tuhan—

Detik kemudian, ia berlari. Pikirannya berkecamuk tak karuan. Antara maling atau pertengkaran, dua tebakannya. Oh Tuhan, oh Tuhan, jangan sampai Wonwoo kenapa-napa—

__

”—ah—ah—ngh—”

“Pretty, pretty Won-ah, you like this?”

”—yah—”

“Hmm?”

”—like it—ah—like—fuck me—fuck me—”

“Doing it, tho.”

“Hard-ah-harder-fuck me—”

“God, I wish Jihoonie's not too stubborn to fuck you too, Omega...just like our good old days...”

“Soonyoung-ah—”

__

Satu langkah mundur.

Dua.

Tiga

Ia berbalik dan lari. Lari. Sekuat tenaga. Entah ke mana. Yang ia tahu, ia perlu menjauh. Jauh, dari pintu yang tertutup itu.

Jauh,

agar ia tidak mendobrak masuk dan merobek perut sang Beta hingga ususnya terburai.

Agar ia bisa mengamuk, melolong panjang di antara pepohonan yang sepi, dan mencabik semua hingga murkanya reda.